Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, kebijakan tersebut akan membuat harga tebu di tingkat petani tertekan. Dengan harga baru ini, tentu bakal merembet ke harga beli gula tebu dari petani.
"Harga beli gula di petani saja, termasuk lewat lelang, sekarang sudah Rp 11.000/kg. Di Medan sekarang lelang sudah Rp 11.500/kg. Bagaimana bisa pedagang kalau dengan ditambah margin dan baiaya logistik bisa jual Rp 12.500/kg. Logika wajar siapa pedagang yang mau rugi? Pasti harga di petani yang ditekan," ujar Sumitro kepada detikFinance, Sabtu (14/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita impas saja Rp 10.700/kg, itu kalau rendemen 7%, banyak pabrik gula yang rendemen di bawah itu, artinya biaya lebih besar lagi. Wajar kita tanam tebu setahun jual Rp 11.000/kg. Kalau pemerintah minta harga di pasar Rp 12.500/kg, harga di petani berapa?" tandas Sumitro.
Dia melanjutkan, ketimbang pemerintah mengupayakan penurunan harga dengan menekan distributor yang bisa merembet pada harga di petani tebu, lebih baik pemerintah melakukan revitalisasi atau bangun pabrik gula baru agar rendemennya bisa naik.
"Solusinya cuma bangun pabrik pabrik baru atau revitalisasi. Kemarin impor gula mentah katanya untuk meningkatkan rendemen, nyatanya rendemen pabrik gula BUMN masih tetap 6% sampai 7%, bahkan ada yang 5% sekian," ungkap Sumitro.
"Jangan samakan kenapa harga gula di Thailand bisa murah, kemudian solusinya harganya ditekan. Mereka gula bisa murah karena infrastrukturnya bagus, pabrik gulanya rendemen tinggi, lahan tebunya juga luas dan sudah perkebunan," tambahnya.
Sumitro juga menepis jika gula yang dilelang di pabrik-pabrik gula sudah diborong atau ijon oleh pedagang besar.
"Gula sampai lelang ya punya petani. Salah kalau harga gula ditekan tidak berpengaruh ke petani. Jangan sampai malah petani tak mau lagi tanam tebu, imbasnya impor malah lebih besar," pungkasnya. (idr/ang)