Pada 2016, pertumbuhan ekonomi 5,02% ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebesar 5,01%, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 4,48%, dan konsumsi LNPRT 6,62%. Sementara ekspor negatif 1,74%, konsumsi pemerintah negatif 0,15%, dan impor negatif 2,27%.
Akan tetapi, perekonomian yang dianggap terbaik itu masih dikeluhkan oleh kalangan pengusaha yang tergabung pada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Di mana, para pengusaha mengaku kondisi sekarang tidak mampu menghindari dari jurang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonom dari PT Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, dikarenakan pemerintah tidak cepat tanggap dalam mengantisipasi melejitnya harga komoditas pada 2015.
"Jadi setelah turun itu tidak langsung turun, itu mempengaruhi sektor ritel, konsumsi terutama yang terkena duluan di luar Jawa," kata David saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (4/5/2017).
![]() |
"Kalau komoditas, komoditasnya yang kena, sehabis itu kalau dunianya lesu, berarti perusahaan yang orientasi ekspor, apalagi sekarang banyak perusahaan yang otomatisasi, itu bisa berpengaruh, kalau pangan tergantung harga pangannya, jadi ini menandakan kita bergantung pada komoditas," paparnya.
"Makanya perlu ditopang oleh sektor manufaktur, makin kesini banyak perusahaan yang mengandalkan otomatisasi. Jadi kita memang sektor jasa, kita harus human capital-nya perlu ditingkatkan," jelas David.
Baca juga: Apa Benar Ekonomi RI Lesu? |
Direktur Investor Relation & Chief Ekonomist Bahana TCW Investmen Management, Budi Hikmat menambahkan, permasalahan PHK di saat perekonomian Indonesia tumbuh positif dikarenakan kompetisi antar perusahaan di Indonesia semakin sengit, baik perusahaan nasional maupun asing.
Dia melanjutkan, seperti halnya agenda Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan diundang dalam waktu dekat ke China dengan 36 kepala negara lainnya. Pada pertemuan tersebut, fokus isu yang akan diangkat adalah mengenai investasi.
"Kalau investasi China ke sini apakah nanti bangun pabrik semen, apakah bangun properti, itu juga dampaknya pada perusahaan di sini, nanti itu akan ada kompetisi, jadi kompetisinya itu jadi akan sengit, di mana posisinya kita yaitu mengoptimalkan yang kita punya, tenaga kerja biar murah tapi harus dibikin produktif, mempercepat training," kata Budi.
Untuk mengantisipasi kompetisi yang sengit dan menjauhkan perusahaan dari jurang PHK dengan memberikan beberapa pelatihan, agar pada SDM nasional memiliki skill yang mumpuni.
"Yang dulu di jaman Soeharto itu baik sekarang tapi kurang diperhatikan itu mantri desa, KB, transmigrasi, sama balai latihan kerja itukan boleh dibilang itu tidak ada sekarang, namanya mantri yang di desa kan bisa tahu kalau ada desa yang longsor, dan harus dikasih tahu," tegasnya.
Selanjutnya, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pemerintah harus melakukan reformasi struktural serta melakukan reindustrialisasi khususnya di sektor manufaktur, pertanian, infrastruktur, serta padat karya yang notabene mampu menyerap tenaga kerja tinggi.
"Di tengah perubahan struktur ekonomi Indonesia, di mana sektor non-tradable bukan labour intensive, cenderung tumbuh lebih cepat daripada sektor tradable dan sektor produktif yang dapat membuka lapangan kerja dalam jumlah besar," ungkap Josua.
(mkj/mkj)