Hal tersebut diungkapkan oleh Anggota II BPK Agus Joko Pramono saat acara Penyerahan LKKP Tahun 2016 kepada pemerintah di Kantor Pusat BPK, Jakarta, Jumat (26/5/2017).
Agus menyampaikan, opini merupakan sekadar pernyataan BPK terhadap suatu pengelolaan keuangan negara. Opini adalah ukuran akuntabilitas dari pengelolaan keuangan yang ada di masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L), dengan opini maka menjadi suatu ukuran proses penyusunan laporan keuangan suatu K/L telah transparansi dan akuntabilitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tindak pidana adalah satu aktivitas satu orang atau sekelompok orang di mana mempersiapkan diri atau merancang yang melanggar UU hukum pidana untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain," jelasnya.
Dia memastikan, audit yang dilakukan BPK pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKKP) bukan bertujuan mencari kecurangan yang telah dilakukan pemerintah.
"Perlu dicatat, pemeriksaan dalam menyampaikan opini tidak dirancang untuk mencari ada atau tidak adanya fraud. Pemeriksaan yang dibuat untuk menghasilkan opini atas laporan keuangan untuk melihat kesesuaian dengan standar yang telah disepakati," tambahnya.
Hanya saja, lanjut Agus, untuk mengetahui proses kecurangan dalam menyusun laporan keuangan bisa dilakukan dengan audit investigasi. "Bisa saja semua proses bukti terkelabui, proses sistem terjadi kolusi dan sebagainya yang enggak bisa dilihat dari audit dalam penyusunan laporan keuangan. Untuk dapat melihat ini harus dilihat audit frensi, audit investigasi dan sebagainya," jelasnya.
Meski demikian, Agus mengungkapkan, ada beberapa hal penting yang dapat diperhatikan bersama oleh pemerintah pada LKKP 2016.
Yang pertama, mengenai subsidi atau PSO yang posisinya secara legal dibiarkan secara lepas, artinya meskipun subsidi dianggarkan dalam APBN tetapi UU APBN membiarkan boleh melampaui anggaran ini dengan alasan tertentu. Jadi perlu ada sistem yang mengontrol supaya subsidi tdk melampaui defisit yang ditentukan UU.
Kedua, pada 2016 pemerintah belum membahas cost liabilities yang akan mempengaruhi laporan keuangan di tahun-tahun berikutnya. Ketiga, mengenai defisit APBN, defisit APBN pengukurannya selama ini berbasis kas sehingga terjadi model pembayaran yang menyebabkan perhitungan defisit APBN yang tidak menunjukkan angka yang sebenarnya secara realitas.
Keempat, terdapat jaminan sosial yang diberikan amanat oleh BPJS untuk mengelola tapi pada praktiknya tidak cukup untuk cover dana jaminan kesehatan dari masyarakat Indonesia yang setiap tahun terjadi defisit Rp 2 triliun, asumsinya pemerintah memberikan tambahan Rp 6 triliun. (mkj/mkj)