Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, mengatakan kendala paling besar tak berjalannya harga daging kerbau Rp 80.000/kg disebabkan kurangnya infrastruktur, dalam hal ini fasilitas pendingin (cold storage).
"Yang utama harus ada cold storage, kita bisa lihat sekarang di Jakarta dari 153 pasar yang ada, hanya 10% yang pedagangnya memiliki pendingin. Kalau mau efektif minimal cold storage 60% dari semua pasar di Jakarta," jelas Asnawi dalam diskusi 'Efektivitas Intervensi Harga Daging' di Hotel Ibis Cawang, Jakarta, Selasa (13/6/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diungkapkannya, pedagang yang menjual daging kerbau sendiri rata-rata tidak memiliki cold storage, sehingga mereka menjualnya dengan metode thowing (dicairkan dari bentuk beku).
"Harus minimal idealnya 60% pedagang punya pendingin agar masyarakat bisa menikmati harga Rp 80.000/kg. Kalau sekarang, pedagang yang punya pendingin tak sampai 10%," ujar Asnawi.
Selain itu, tak semua kualitas daging bisa dipukul rata dengan harga maksimal Rp 80.000/kg. Beberapa bagian daging kerbau India, menurutnya, mendapatkan daging kerbau beku secondary cut sudah cukup mahal.
Dia mencontohkan, untuk jenis daging kerbau dengan kualitas secondary cut saja, pedagang membeli dari distributor dengan harga Rp 79.000/kg. Kondisi tersebut tak memungkinkan pedagang menjual di bawah Rp 80.000/kg jika sudah dicairkan.
"Daging secondary cut beli dari distributor besar Rp 79.000/kg, ketika dilakukan thowing ketemu Rp 93.000/kg. Mana mungkin dijual Rp 80.000/kg. Dibeli dari pedagang besar saja Rp 79.000-80.000/kg. Kecuali jenisnya lamur atau belakang, itu dari distributor Rp 53.000/kg. Tergantung kualitas daging," ucapnya. (idr/hns)