Demikian disampaikan Kepala Balai Besar Mekanisasi Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Andi Nur Alam, dalam melihat pola bisnis PT Indo Beras Unggul (IBU), produsen beras kemasan bermerek Ayam Jago dan Maknyuss.
Sebab, katanya, keuntungan yang diberikan pengusaha kepada petani hanya bersifat sementara dan tidak memberikan benefit yang sebanding dengan jerih payah membudidayakan tanaman padinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang harus dilakukan petani dalam melihat fenomena tersebut, sambung Nur Alam, yakni memperkuat kelembagaan. Hal ini untuk mengoptimalkan pemanfaatan bantuan-bantuan subsidi dari pemerintah bagi kesejahteraan pribadi maupun kelompok.
"Revitalisasi kelembagaan termasuk juga meningkatkan kemampuan untuk membentuk jejaring usaha bisnis dengan mitra kerja pemerintah yang berkaitan dengan bantuan petani," jelasnya.
![]() |
Nur Alam menerangkan, jika melihat dari praktik berbisnis PT IBU tersebut, maka selisih harga gabah antara pembelian pemerintah Rp 3.700/kg dengan dari pengusaha Rp 4.900/kg hanya Rp 1.200/kg. Selisih tersebuttidak sebanding dengan biaya tunggu petani selama tiga bulan sejak masa tanam sampai panen.
"Nilai selisih harga Rp 400/kg/bulan sangat tidak fleksibel terhadap kebutuhan hidup sehari-hari petani," sambungnya.
Nilai ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan petani untuk membayar harga asarana produksi padi (saprodi).
Menurutnya, pengusaha sepantasnya membeli barang petani Rp 6.000-Rp 8.000/kg gabah kering panen (GKP), bila memang bertujuan menyejahterakan petani. Umumnya petani menjual ke konsumen Rp 13 ribu-Rp 20 ribu/kg.
"Apabila di bawah harga tersebut, berarti pengusaha hanya bersifat sebagai pencari untung (rent seeker) semata," tegasnya.
Sebab, ada perusahaan penggilingan kecil yang membeli gabah Rp 3.700/kg dan menjualnya kepada konsumen sesuai ketentuan yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
(nwy/ang)