Mantan Menkeu Ini Sarankan Jokowi Kucurkan BLT

Mantan Menkeu Ini Sarankan Jokowi Kucurkan BLT

Maikel Jefriando - detikFinance
Senin, 30 Okt 2017 13:43 WIB
Foto: dok detikfoto
Jakarta - Bantuan Langsung Tunai (BLT) dianggap sebagai solusi jitu dari permasalahan konsumsi masyarakat yang menurun dalam satu dekade terakhir. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharap bisa mempertimbangkan kebijakan tersebut.

"Pemberian uang secara langsung itu efeknya besar untuk konsumsi masyarakat," kata Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, kepada detikFinance, Senin (30/10/2017).


BLT dikenal sebagai program era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Skemanya, yaitu memberikan uang langsung kepada masyarakat yang diidentifikasi kelompok miskin dan rentan miskin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Besarannya pada 2012 lalu Rp 300.000 per bulan untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran.

Penyaluran BLT tadinya ditujukan agar masyarakat di kelompok bawah bisa terus berbelanja, utamanya adalah kebutuhan pokok. Seperti beras, lauk pauk dan kebutuhan sejenis lainnya.

"Orang kalau diberi uang pasti belanja, dan itu tercatat sebagai konsumsi," jelasnya.

Pemberian BLT di era sekarang, menurut Chatib karena penghasilan kelompok bawah yang terus menurun. Sementara penghasilan kelompok menengah atas terus alami peningkatan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan upah riil buruh bangunan turun dari Rp 65.211 per hari pada Januari 2017 menjadi Rp 64.867 per hari di September 2017.

Begitu juga dengan pembantu rumah tangga pada periode yang sama, dari awalnya Rp 380.968 per bulan menjadi Rp 360.968.

Untuk buruh tani memang ada kenaikan dari Rp 37.064 menjadi Rp 37.711. Namun bila dibandingkan pertumbuhannya dibandingkan periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya, periode sekarang sangat rendah.


Saat penghasilan kelompok bawah turun, kata Chatib, tidak mungkin dipaksakan untuk bekerja atau melaksanakan program dari pemerintah. Seperti pembangunan infrastruktur dasar melalui dana desa. Apalagi harus memulai usaha lewat program Kredit Usaha Rakyat (KUR). "Mereka itu butuh makan sebelum bisa bekerja," imbuhnya.

Patut disadari program tersebut cenderung dianggap bersifat politis. Namun bila hal tersebut ditujukan untuk menyelamatkan hidup masyarakat miskin, menurut Chatib tidak jadi persoalan.

Chatib juga menyinggung soal kekhawatiran pemerintah tentang kemungkinan penyalahgunaan BLT. Di mana tadinya untuk membeli kebutuhan pokok menjadi pembelian rokok atau pulsa.

"Dari studi di Harvard menunjukkan bahwa dana BLT itu digunakan untuk membeli beras. Sedikit sekali kemungkinan belanja lain, karena yang diterima enggak gede. Kecuali rela tidak makan dari pada beli pulsa, yang rasanya enggak ada," papar Chatib.

Bila pemerintah tidak ingin mengalokasikan anggaran baru, maka bisa melalui pagu dana desa. Dari total Rp 60 triliun di 2018, maka sebagian bisa dialihkan untuk kegiatan masyarakat.

"Itu suruh saja bersihin selokan, benerin kali pasti dapat uang dan yang penting dia belanja," terangnya. (mkj/dnl)

Hide Ads