Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan, rasio pajak Indonesia yang rendah itu awalnya diperkirakan terjadi lantaran anjloknya harga komoditas. Namun setelah diperhatikan lebih jauh, teori tersebut tak terbukti benar.
"Kalau dilihat dari 2013, atau sebelumnya, trennya tax ratio kita turun terus. Dulu di awal turun kita bilang ini gara-gara harga komoditas. Karena turun, maka penerimaan turun, sehingga terjadi multiplier effect dari sektor pertambangan," katanya dalam seminar Reformasi Pajak di Plaza Mandiri, Jakarta, Senin (30/10/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angka penerimaan pajak yang rendah tersebut diperkirakan lantaran sistem perpajakan yang kurang baik. Mulai dari sasaran pajaknya, kebijakan yang dibuat, hingga SDM yang kurang baik.
"Ketika ada situasi seperti itu, kita lihat ke sistem pajaknya. Misalnya masalah restitusi yang sistemnya lamban. Begitu dia lamban, maka jadi cashflow issue buat pengusaha. Ini masalah administrasi. Kalau enggak bisa buat cepat, maka kepatuhan atas PPN yang akan berkurang," ujar Suahasil.
Untuk itu, sejalan dengan telah dilakukannya tax amnesty, maka reformasi perpajakan pun kini menjadi fokus pemerintah alias tak lagi menyalahkan keadaan melemahnya harga komoditas.
Pajak dan bea cukai kini digabung menjadi satu kesatuan dan diharapkan rasio pajaknya bisa naik. Perbaikan-perbaikan tersebut mencakup sumber daya manusia, IT proccess, perbaikan di bisnis proses pajaknya itu sendiri, dan perbaikan di peraturan-peraturan.
"Saat ini, pemerintah melakukan diskusi dengan DPR untuk merevisi UU KUP. Kan kita lanjutkan, akan kita lanjutkan. Pemerintah juga melakukan diskusi RUU PNBP. Itu juga bagian penerimaan negara. Semua kita arahkan untuk mendorong tax ratio," ungkapnya.
Adapun angka rasio pajak Indonesia saat ini disebut bertolak belakang dengan belanja negara yang angkanya begitu tinggi. Hal ini pun menimbulkan rasa dilematis lantaran defisit penerimaan harus ditutupi dengan utang menyusul anggaran belanja negara yang besar.
Jika dilihat dari kebutuhan belanjanya, rasio belanja Indonesia mencapai 15 sampai 16% dari PDB. Sementara rasio pajak sendiri hanya mencakup 10,4% dari PDB.
"Kita minta transfer daerah dinaikin dan lain-lain, tapi duit dari mana? Utang juga sudah kita tahan. Tahun depan juga akan kita tahan lagi supaya kurangi defisitnya. Jadi dilematis, kebutuhan besar, tapi tax-nya enggak kekumpul," tandasnya. (eds/mkj)