Penindakan hukum terhadap kejahatan yang multi rezim tersebut pun menjadi tantangan dalam memberantas IUU fishing. Penerapan pendekatan multi rezim hukum dan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap kejahatan perikanan dan kejahatan terkait perikanan lainnya, harus jelas pada setiap tahap penuntutan dan penjatuhan putusannya yang dilakukan di pengadilan perikanan.
"Memang tidak mudah melakukan penindakan lewat tindak pidana multirezim (di pengadilan perikanan). Apakah sistem hukum kita bisa diselesaikan lewat pengadilan multi rezim. Apakah bisa semuanya diselesaikan melalui pengadilan perikanan kita. Ini tantangan bagi kita," kata Perwakilan Mahkamah Agung, Surya Jaya di Kantor KKP, Jakarta, Senin (11/12/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berbagai permasalahan yuridis yang dihadapi khususnya di zone ekonomi eksklusif (ZEE) kita. Antara lain kesulitan menghadirkan atau memproses korporasi yang ada di luar wilayah teritorial Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran di ZEE. Lalu untuk pengembalian hasil kekayaan yang telah diambil secara ilegal. Lalu ketidakjelasan penentuan titik koordinat, apakah di ZEE, atau di luar atau di laut bebas wilayah perikanan Indonesia," ungkapnya.
Tindak pidana illegal fishing sendiri telah terbukti menjadi hambatan dalam mencapai pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan secara optimal. Berbagai kerugian atau dampak ditimbulkan dari perilaku tersebut, bahkan hingga ke kedaulatan hukum dan negara.
Sementara itu, wilayah perairan ZEE Indonesia dalam kenyataannya menjadi tujuan tindak pidana illegal fishing. Pelakunya tidak hanya perorangan, tapi juga badan hukum atau korporasi. Tindak pidana kejahatan perikanan juga memiliki dimensi yang luas, sehingga penting agar peningkatan kapasitas aparat penegak hukum bidang perikanan terus dikembangkan.
(eds/zlf)