Pemerintah pun tengah menggodok kebijakan pengenaan pajak e-commerce. Nantinya seluruh transaksi melalui marketplace akan dikenakan pajak.
Sontak kebijakan itu menimbulkan polemik khususnya bagi mereka yang terjun dalam bisnsi e-commerce, entah itu yang memiliki website dan aplikasi ataupun si pelapak di marketplace. Pemerintah dianggap tak adil lantaran hanya mengenakan pajak untuk marketplace saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jual Beli di Facebook hingga Instagram Akan Kena Pajak
Foto: Rachman Haryanto
|
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya sudah mendengar permintaan dari pelaku e-commerce yang meminta peta persaingan yang adil. Oleh karena itu transaksi online di media sosial juga akan dikenai pajak.
"Mereka sebut masalah medsos, ada channel lain. Memang tidak mungkin kita selesaikan semuanya, sekarang kan yang terkait dengan market place, kita matangkan dulu di situ. Tapi bukan berarti medsos atau channel yang lain mereka enggak punya kewajiban pajak, mereka tetap harus bayar pajak," tuturnya di Gedung BEI, Jakarta kemarin.
Nantinya transaksi online di media sosial seperti Instagram dan Facebook juga akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh) seperti marketplace.
Namun untuk sementara Ditjen Pajak akan mengawasi kegiatan usaha penjual di media sosial. Layaknya wajib pajak lainnya mereka juga tetap harus melaporkan penghasilannya dalam SPT.
Sementara untuk aturan perpajakan e-commerce pihaknya masih melakukan pematangan kebijakan dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Ditjen Bea dan Cukai. Salah satu yang akan dimatangkan terkait penyelarasan sistem dengan Ditjen Pajak. Hestu juga belum bisa memastikan kapan kebijakan ini akan diterapkan.
Pelaku E-Commerce Ingin Agar Medsos Dikenakan Pajak Lebih Dulu
Foto: Rachman Haryanto
|
"Yang penting adil aja. Kita ini kan produk lokal, terus kita membina ribuan karyawan. Sedangkan sosial media gak punya karyawan seperti itu. Menurut saya harusnya sosial media dulu, lebih adil gitu," tuturnya saat dihubungi detikFinance.
Menurutnya banyak e-commerce yang sebenarnya merupakan buatan anak bangsa. Seharusnya mendukung industri yang baru berkembang di Indonesia ini bukan membebaninya.
Zaky sendiri mengaku di Bukalapak saat ini sudah ada sekitar 2,2 juta pedagang yang menempati marketplace-nya. Sementara karyawan Bukalapak sendiri ada sekitar 1.500 orang.
Bila Jual Beli via Medsos Tak Dipajaki, Marketplace Bisa Sepi
Foto: Maikel Jefriando-detikFinance
|
"Takut ada exodus, itu pastilah. Menurut saya itu kemungkinan akan terjadi," tuturnya.
Dia juga menilai, seharusnya pemerintah mendukung dulu industri e-commerce yang masih belia untuk tumbuh subur. Jika sudah berkembang, barulah pemerintah memikirkan untuk mengenakan pajak e-commerce.
"Khawatirnya pemerintan berharap dapat besar (pajak), tapi dapatnya kecil karena lari ke sosmed. Support dulu kita, tunggu kita besar baru kita bisa kerjasama," imbuhnya.
Cara Pemerintah Tarik Pajak Jual Beli Online di Medsos Dipertanyakan
Foto: Rachman Haryanto
|
"Saya juga kurang yakin pemerintah bisa. Bagaimana cara mengatur (pajak) sosmed itu perlu dijawab dulu oleh pemerintah," tuturnya.
Memang mengenakan pajak transaksi online di media sosial memang berbeda dengan marketplace. Di marketplace lebih mudah dilacak lantaran menggunakan sistem empunya e-commerce.
"Sebenarnya sistem kami cukup mudah untuk dikoneksikan (dengan sistem Ditjen Pajak). Jadi kalau kita teknis perpajakannya enggak ada masalah," tambahnya.
Meski begitu, Zaky berharap agar pemerintah bisa berlaku adil terhadap semua pelaku usaha baik itu online maupun offline. Dia berharap pemerintah bisa mendukung e-commerce yang sebenarnya baru saja berkembang di Indonesia.
Halaman 6 dari 5