Lalu, Enny mengatakan, meski neraca perdagangan sektor pertanian di 2017 mengalami surplus, namun sebagian besar sektor mengalami defisit.
"Artinya, untuk sektor-sektor pangan hortikultura dan peternakan ini kan semua pangan, semua mengalami ketergantungan impor," kata dia di Kantor INDEF, Rabu (18/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya sektor perkebunan mengalami surplus US$ 26,7 miliar, tapi neraca perdagangan tanaman pangan defisit US$ 6,23 miliar, hortikultura defisit US$ 1,79 miliar, dan peternakan US$ 2,74 miliar.
Impor sebenarnya bukan hal tabu dalam era perekonomian global, namun impor seharusnya mendorong produktivitas. Tapi, hal itu tidak terjadi lantaran pertumbuhan ekonomi tidak banyak bergerak.
"Mestinya kalaupun industri mestinya memberi akselerasi pertumbuhan ekonomi," ujar Enny.
Menurut Enny, kondisi itu memperkuat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mana ada indikasi penyimpangan dalam kebijakan impor.
"Kalau kita lihat mendapat satu titik temu apa yang kemarin dipublikasikan hasil temuan BPK, dalam formulasi kebijakan impor penuh penyimpangan," ujar Enny.
Enny pun menambahkan, masalah impor tidak lepas dari kontroversi soal data pangan. Satu sisi, Kementerian Pertanian (Kementan) yang bertanggungjawab masalah produksi mengklaim produksi cukup. Sehingga tak ada upaya untuk mengejar ketersediaan pangan.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang bertanggung jawab soal distribusi merasa harga pangan terus melambung.
"Sehingga yang akhirnya penetapan kebijakan impor menimbulkan polemik dan menjadi persoalan yang politis," tutup dia. (hns/hns)