Ironi Gaji BPIP: Pejuang Pancasila yang Tidak Pancasilais

Ironi Gaji BPIP: Pejuang Pancasila yang Tidak Pancasilais

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Rabu, 30 Mei 2018 10:47 WIB
Foto: Tim Infografis - Fuad Hasim
Jakarta - Publik mengkritik gaji Ketua Dewan Pengarah Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) Megawati Sukarnoputri yang jumlahnya mencapai Rp 112 juta. Tak hanya Megawati, sejumlah anggota lembaga 'pejuang Pancasila' tersebut juga mempunyai gaji yang fantastis.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini mengatakan gaji anggota BPIP di luar kewajaran. Di luar kewajaran yang dimaksud lantaran jumlahnya dianggap terlalu tinggi di tengah-tengah melemahnya ekonomi Indonesia, dan tak sesuai dengan beban kerja anggota badan.

"Saya berani mengatakan bahwa praktik kebijakan seperti itu tidak Pancasilais, mengingat kondisi kesenjangan rakyat yang luar biasa pada saat ini," katanya dalam keterangan resmi seperti dikutip detikFinance, Rabu (30/5/2018).
Dia bilang, cara mengalokasikan gaji tersebut seperti mau mengambil hati atau "menyuap" tokoh-tokoh agar berpihak kepada pemerintah. Anggota BPIP yang seharusnya berjuang untuk rakyat dan bangsa dirasa tidak pantas menerima gaji sebesar itu karena memang hampir tidak bekerja normal sebagaimana laiknya seorang profesional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi tidak selaiknya menerima gaji berlebihan di luar kewajaran tanpa kerja yang sewajarnya," jelas Didik.

Didik menjelaskan, fakta ini bahkan membuat mundur jalannya reformasi birokrasi. Birokrasi di waktu yang lalu berkedok reformasi telah menaikkan gaji sangat tinggi, tetapi kualitas pelayanan publik tetap buruk dan masih dijangkiti boros, tidak efisien, tuna produktif, bahkan tuna kerja.

Praktik seperti ini dilakukan di berbagai lembaga negara dengan mengalokasikan gaji, honorarium, dan remunerasi yang berlebihan sehingga menguras anggaran negara. Sumber pemborosan negara berasal dari praktik seperti ini.

"Lembaga-lembaga ad hoc sudah banyak dibubarkan tetapi pada sisi lain dibangun kembali seperti BPIP dengan gaji yang menyinggung perasaan rakyat banyak," katanya.
Praktik pemborosan birokrasi seperti ini bahkan dilihat lebih parah dibanding zaman Orde Baru. Hal ini jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi dan utang Indonesia yang tengah membengkak.

"Pada masa orde baru, jumlah APBN hanya sekitar Rp 60-70 triliun tetapi utang terkendali. Jumlah APBN sekarang tidak kurang dari Rp 2.000 triliun tetapi haus utang. Sebabnya tidak lain karena praktik pemborosan di birokrasi semacam BPIP dan lembaga-lembaga negara lainnya," katanya.

"Jika praktek pemborosan seperti ini terus dilakukan, maka birokrasi akan memakan negara, pasak memakan tiang. Memang tidak ada hubungan langsung yangbsignifikan antara gaji Rp 112 juta dan utang yang besar. Tetapi praktik kolektif 'empire builders' seperti ini akan menguras anggaran negara secara boros dan tidak produktif," tutup Didik.
(eds/ang)

Hide Ads