Bila terealisasi, pencabutan perlakuan khsusu AS itu bisa berdampak langsung pada pertumbuhan eknomi RI, terutama ke beberapa sektor industri.
"Kalau di tengah konteks (perang dagang Indonesia -AS) Indonesia melihat apa sih yang membuat Indonesia barang kali terekspos. Kalau saya lihat dalam produk ekspor saat ini kita memang lebih banyak di produk manufaktur. Produk manufaktur itu paling besar memang dari Jawa," kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, dalam pembukaan Internasional Development Forum yang digelar di The Ritz Carlton Jakarta, Selasa (10/7/2018)..
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saksikan juga video 'Mei 2018, Neraca Perdagangan RI Defisit US$ 1,52 Miliar':
Ia juga menjelaskan, salah satu sektor yang paling terdampak jika produk Indonesia dicoret dari list GSP yaitu industri tekstil.
"Kemungkinan adalah sektor manufaktur. Manufakturnya mungkin terkait tekstil, tapi bisa juga kemudian kalau Amerika misalkan men-challenge Indonesia mengenai produk-produk yang saat ini sudah mendapatkan GSP. Tentunya akan mempengaruhi ekspor Indonesia ke AS," ujar dia.
Asal tahu saja, Indonesia berpotensi membayar bea masuk sekitar US$ 1,8 miliar per tahun atau setara Rp 25,2 triliun (Kurs Rp 14.000/US$) bila Trump mencabut GSP terhadap barang-barang tersebut.
Ia menjelaskan jika memang harus ada keputusan yang berat yaitu dicoretnya hak istimewa, maka Indonesia harus segera mencari negara tujuan ekspor lain.
"Kalau kemudian kita menghadapi hambatan dari AS tapi kemudian kita bisa mengalihkan produk eskpor kita ke negara lain, maka harusnya ini tidak menjadi masalah. Tapi tentunya kita harus mempersiapkan diri. Pertama, negosiasi harus dikedepankan. Kemudian kedua, kita harus menajga daya saing. Bayangan saya kalau kita menjaga daya saing, kita dihalangi suatu negara harusnya produk yang sudah kompetitif ini bisa mengalir ke negara lain. Harusnya jaringan ekspornya tidak terganggu," kata dia.