Karen Tersandung Kasus, Pengamat: Sesuai Prosedur Kok Dikriminalkan?

Karen Tersandung Kasus, Pengamat: Sesuai Prosedur Kok Dikriminalkan?

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Selasa, 25 Sep 2018 17:01 WIB
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Banyak kebijakan korporasi yang dianggap merugikan lalu diseret ke meja hijau di Indonesia. Bahkan kebijakan yang sesuai prosedur juga bisa dikriminalkan di tanah air.

Pengamat sekaligus Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu menyayangkan penahanan yang dilakukan kepada Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan. Menurutnya, aksi korporasi Pertamina yang membuat terkena kasus sudah sesuai prosedur.

Untuk diketahui, Karen ditahan karena dugaan korupsi penyalahgunaan investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 silam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi itu kan di dalam mekanisme korporasi itu seluruh pengambilan keputusan sampai pertanggungjawaban sesuai prosedur. Kok hal sesuai prosedur itu kok dikriminalkan?"kata dia kepada detikFinance, Selasa (25/9/2018).


Sesuai prosedur yang dimaksud ialah karena pemegang saham telah menyetujui keputusan investasi ini. Pemegang saham menyetujui investasi yang disepakati dalam rapat umum pemegang saham (RUPS).

"Kalau RUPS menerima, berarti semua, RUPS menyatakan dibebaskan dari tanggung jawab," ujarnya.

"Proses pengambilan keputusannya sangat prudent, sesuai dengan kaidah korporasi saat proses pengambilan keputusan," tambahnya.

Bukan hanya itu, risiko bisnis juga sudah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasilnya, kata dia, tidak menunjukan adanya masalah.

"Auditor tidak menyatakan masalah, RUPS tidak menyatakan masalah tapi penegakan hukum menyatakan masalah," terangnya.


Tak hanya itu, perencanaan investasi pun sudah melalui tahapan yang sesuai prosedur. Sebab, dalam investasi ini Pertamina juga menggandeng sejumlah konsultan.

"Ada kajiannya, kan dilempar ke direktur teknis untuk mengkaji, kan pakai konsultan, 2 konsultan internasional lho. Ini kan karena hanya satu komisaris tidak setuju, itu biasa saja dalam pengambilan keputusan," terangnya. (ang/ang)

Hide Ads