Berdasarkan catatan detikFinance, 10% Blok BMG milik ROC Oil Limited Australia diakuisisi Pertamina melalui anak usahanya Pertamina Hulu Energy pada tahun 2009.
Direktur Usaha Internasional Pertamina Hulu Energy (PHE) saat itu, Dwi Martono mengatakan, Pertamina resmi menguasai 10% Blok BMG terhitung sejak 1 Januari 2009. Namun seluruh proses transaksi baru selesai tanggal 18 Agustus 2009.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dwi mengaku, perseroan harus merogoh kocek hingga US$ 31,5 juta untuk mengakuisi lapangan lepas pantai di Victoria Australia tersebut. Adapun total produksi blok tersebut sebesar 9.000 barel per hari, di mana PHE mendapatkan jatah 10%.
Dengan masuknya Pertamina Hulu Energi, kepemilikan dalam Joint Venture pengembangan Blok BMG yaitu Anzon Australia yang merupakan anak usaha ROC Oil Limited Australia sebesar 30%, Beach Petroleum sebesar 30%, CIECO Exploration and Production sebanyak 20%, Sojitz Energy Australia sebesar 10% dan PT Pertamina Hulu Energi sebesar 10%.
Namun, di tahun 2010 cadangan Blok BMG mengalami penurunan dari 18 juta barel menjadi hanya 3 hingga 5 juta barel.
"Di tahun 2010 cadangan Blok BMG mengalami penurunan dari 18 juta barel menjadi hanya 3 hingga 5 juta barel"Direktur Usaha Internasional Pertamina Hulu Energy (PHE) saat itu (tahun 2009), Dwi Martono. |
Berdasarkan situs resmi ROC Oil Company yang dikutip detikFinance, Jumat (5/2/2010), penurunan cadangan tersebut merupakan hasil dari simulasi reservoir awal yang dilakukan oleh ROC.
"ROC telah menggandeng konsultan independen, RISC (Resource Investment Strategy Consultants) untuk mereview hasil simulasi reservoir dan perkiraan cadangan yang telah dilakukan ROC," kata situs resmi ROC tersebut.
Direktur Usaha Internasional Pertamina Hulu Energi Dwi Martono waktu itu mengatakan, dirinya masih menunggu hasil kajian lembaga independen yang dilakukan oleh RISC yang selesai pada akhir Februari.
"Evaluasi itu kan belum selesai, kami masih menunggu hasil kajian teknis dari lembaga independen baru bisa komentar," kata dia saat dihubungi detikFinance.
Dwi juga enggan mengomentari berapa besar kerugian yang dialami Pertamina dari turunnya cadangan di blok tersebut. "Belum bisa dipastikan rugi atau tidak karena kami masih tunggu hasil kajian tim independen," sebutnya.
Pada tahun 2017, Jaksa penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut kasus dugaan korupsi penyalahgunaan investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG), Australia, pada 2009. Jaksa pun memeriksa tiga orang saksi.
Kapuspenkum Kejagung M Rum mengatakan tiga saksi yang diperiksa adalah Direktur Keuangan Pertamina Hulu Energi Ari Budiarko, mantan Direktur Pemasaran Pertamina A Faisal, dan mantan Direktur SDM Pertamina Waluyo.
"Tim penyidik telah mengagendakan dan melakukan pemanggilan secara patut terhadap tiga orang saksi," kata M Rum dalam keterangannya, Selasa (18/7/2017).
Rum mengatakan ketiganya hadir memenuhi panggilan sejak pukul 10.00 WIB. Rum mengatakan A Faisal dan Waluyo menjelaskan soal rapat pengambilan keputusan untuk investasi di Blok BMG, Australia. Keduanya pada 2009 menjabat sebagai direksi di Pertamina.
Sedangkan Ari, menurut Rum, menjelaskan terkait pengeluaran keuangan untuk investasi di Blok BMG pada 2009. Ia menambahkan, hingga penyidik telah memeriksa 28 orang saksi.
Rum menjelaskan kasus ini bermula pada 2009. Saat itu PT Pertamina melalui anak perusahaannya, yakni PT Pertamina Hulu Energi (PHE) mengakuisisi 10% saham ROC Oil Ltd.
Perjanjian jual-beli ditandatangani pada 1 Mei 2009 dengan modal AUD$ 66,2 juta atau senilai Rp 568 miliar dengan asumsi mendapatkan 812 barel per hari. Namun, menurut Rum, produksi minyaknya tidak mencapai target.
"Ternyata BMG, Australia, pada tahun 2009 hanya dapat menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pty Ltd rata-rata 252 barel per hari," ujar Rum.
Kemudian pada 5 November 2010 Blok BMG dinyatakan ditutup setelah pemilik saham dalam joint venture pengembangan Blok BMG, yaitu ROC Oil Ltd, Beach Petrolium, Sojits, dan Cieco Energy, memutuskan menghentikan produksi minyak mentah (non-production phase) dengan alasan lapangan tidak ekonomis.
Pengamat BUMN sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu berpendapat, langkah Karen ini merupakan salah satu risiko bisnis yang bisa saja terjadi.
Ia justru khawatir, kejadian ini bakal membuat pejabat BUMN lainnya takut untuk mengambil keputusan bisnis.
"Kalau risiko bisnisnya seperti ini (ditahan), orang nggak bakalan lagi ada yang berani mengambil risiko bisnis," jelas dia kepada detikFinance, Senin (24/9/2018) kemarin.
Saksikan juga video 'Aturan Migas Dipangkas, Apa Saja?':
(dna/dna)