"Indonesia harus mengejar ketertinggalan dari negara-nagara lain dalam penyiapan SDM kompeten. Apalagi Indonesia juga dihadapkan pada tantangan bonus demografi," ujar Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri dalam keterangan tertulis Rabu (10/10/2018).
Hanif juga mengatakan berdasarkan data BPS saat mengunjungi Laboratoriun Pelatihan Politeknik ATMI Sikka (Kampus Cristo re Maumere), NTT. Indonesia masih mengalami persoalan angkatan kerja yang didominasi oleh lulusan SD-SMP (59,6%). Dalam rentang usia tersebut, kemungkinannya sangat tipis bagi masyarakat untuk dapat mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di samping itu, Hanif mengingatkan selain kualitas dan kecepatan, lembaga pelatihan dan pendidikan vokasi juga harus memperhatikan pembangunan karakter dan attitude.
"Seperti di Jepang, itu kalau karyawan baru, dilatih karakternya dengan jalan kaki sekian meter dengan waktu tempuh sekian detik. Jadi yang jalannya lambat biar bisa nambah cepat. Yang jalannya terlalu cepat bisa menyesuaikan," papar Hanif.
Ke depannya, dengan adanya standar kualitas kerja yang baik maka para pekerja memiliki standar yang sama dalam bekerja. Sehingga tidak ada gap keahlian satu sama lain.
Di sisi lain, salah seorang pengurus Polteknaker ATMI, Romo Doni, menyebut bahwa pendidikan vokasi seperti politeknik memiliki prospek bagus di dunia kerja. Sejumlah lulusan politeknik mereka pun disebutnya telah berhasil masuk ke dunia industri. Hanya saja, pendidikan vokasi khususnya di daerah punya banyak kendala.
"Kendala yang dihadapi antara lain kebutuhan alat-alat (pelatihan) yang tidak murah. Itulah kenapa tiap tahun hanya sekitar 20-an orang saja yang kami terima," ungkap Romo Doni.
Meskipun begitu memang standar kuota pelatihan memang hanya sekitar 16 orang saja tiap kelasnya. (mul/mpr)