Zaman Orde Baru RI Ketiban Rezeki Harga Minyak Tinggi

Zaman Orde Baru RI Ketiban Rezeki Harga Minyak Tinggi

Danang Sugianto - detikFinance
Rabu, 21 Nov 2018 11:18 WIB
Foto: Reuters
Jakarta - Pemerintahan Orde Baru kembali disinggung-singgung oleh salah satu tim pasangan calon presiden dan wakilnya. Keberhasilan program dari Orde Baru disebut-sebut akan diterapkan jika pasangan itu menang.

Dalam beberapa hal, pemerintahan Orde Baru memang memiliki beberapa pencapaian. Tak ada gading yang tak retak, Orde Baru juga memiliki beberapa catatan merah.

Situasi pun berbeda antara pemerintahan saat ini dengan zaman Orde Baru. Salah satu yang paling kentara adalah terkait minyak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah saat ini dibebani dengan impor minyak yang tinggi sehingga mendorong defisit neraca transaksi berjalan. Dulu saat Orde Baru, Indonesia bak raja minyak.

Booming minyak yang terjadi pada periode 1974-1982 menjadi salah satu titik penting pemerintahan Orde Baru. Tingginya harga minyak di pasar internasional membuat pemerintah saat itu mendapatkan pemasukan yang cukup besar.



Pada 1977 Indonesia memproduksi begitu banyak minyak hingga mencapai 1,68 juta barel per hari, sementara konsumsi BBM rakyat Indonesia hanya sekitar 300.000 barel per hari. Ini yang menyebabkan Indonesia masuk dalam organisasi OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries).

Berbeda dengan sekarang, kebutuhan BBM dalam negeri pada 2017 sebesar 1,3 juta barel per hari (bopd). Kebutuhan BBM itu dipenuhi dari produksi minyak mentah dalam negeri, impor minyak mentah, dan impor BBM.

Untuk produksi minyak mentah sebanyak 525 ribu bopd atau sekitar 59% berasal dari dalam negeri. Minyak mentah dari impor sendiri sebesar 360 ribu bopd atau mengambil porsi 41%. Secara total, jumlah minyak mentah yang diproduksi mencapai 885 ribu barel bopd.

Besarnya pemasukan negara dari sektor minyak, membuat pemerintah orde baru memiliki amunisi untuk melakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan saat itu mengarah pada tujuan sosial.



Menurut data sejarah yang dicatat Bank Indonesia (BI) seperti dilansir detikFinance, Rabu (21/11/2018), kondisi itu memungkinkan pemerintah memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan melaksanakan program pemerataan pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas, termasuk pemberian kredit untuk mendorong kegiatan ekonomi lemah.

Namun, pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam menembus angka 47%.

Pemerintah Orde Baru kembali berbenah diri dengan melakukan program stabilisasi. Pada 1974/1975 inflasi pun turun menjadi 21%.

Hal ini memberi peluang Pemerintah untuk menurunkan suku bunga deposito dan kredit jangka pendek terutama ekspor dan perdagangan dalam negeri pada Desember 1974 guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

(das/eds)

Hide Ads