Data BPS ini menimbulkan pro kontra di publik. Ada yang setuju, namun tidak sedikit pula yang mengkritik data tersebut hingga membawanya ke ranah politik. Maklum, kondisi saat ini sedang persiapan pemilihan presiden dan wakil presiden di 2019 nanti.
Merespons data kemiskinan yang dibawa-bawa ke ranah politik, Kepala BPS Suhariyanto angkat bicara. Dia menegaskan, BPS menyampaikan apa adanya sesuai data di lapangan.
Bagi pihak-pihak yang ingin mengkritisi seharusnya pakai data valid.
"Kita menjelaskan berulang kali, ketika ada capaian ya saya bilang capaian. Ke depan diskusi di sana (politik) itu harusnya pakai data yang valid bukan pernyataan kosong dan menggiring ke hal yang tidak produktif," kata Suhariyanto dalam workshop statistik di Aston Hotel & Resort Bogor, Sabtu (24/11/2018).
Dia menjelaskan selama ini BPS menghitung angka kemiskinan dengan metode yang sama dan tidak berubah, sesuai dengan arahan internasional. "Jadi acuannya tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Thailand sampai Vietnam semua mengacu pada kebutuhan dasar," imbuh dia.
Suhariyanto menambahkan, data yang dikeluarkan BPS menjelang tahun politik ini memang dipandang dari sudut pandang yang berbeda. Namun dia memastikan BPS tetap independen ketika merilis data dan tidak memihak ke siapapun.
"Yang jadi goreng-gorengan itu kan garis kemiskinan ya yang sekitar 380. Itu kan per kapita. Tapi kalau kita menghitung garis kemiskinan dikali jumlah anggota rumah tangga, tinggi sebenarnya. Garis kemiskinannya di DKI hampir 3 juta. Di NTT bahkan lebih tinggi dari Jogja. Ya karena tahun politik cara menyampaikannya dari sudut pandang yang berbeda, tapi BPS melihatnya tetap objektif," tutur Suhariyanto. (kil/hns)