Mengutip Reuters, padahal Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping berupaya untuk bersepakat untuk menyelesaikan masalah ini. Akhirnya ada masa ketegangan mereda hingga 2 Maret 2019 mendatang, yang diharapkan bisa mengubah kondisi kedua negara adidaya tersebut.
Baik ekonomi AS dan China, keduanya merugi hingga US$ 2,9 miliar per tahun atau sekitar Rp 42,05 triliun (kurs Rp 14.500) Karena tarif untuk produk kedelai, jagung, gandum dan sorgum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, saat ini China sudah membeli kedelai dari Brasil setelah negara tirai bambu itu memberlakukan tarif 25% pada produk kedelai AS sebagai balasan tarif AS untuk produk impor China. "Itu adalah resolusi. Memang akan kalah untuk AS dan China," imbuh Tyner.
Dari data Departemen Pertanian AS, total ekspor produk pertanian AS ke China selama 10 bulan pada 2018 turun 42% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 8,3 miliar.
Sementara itu, di wilayah Dakota Utara petani yang mengekspor kedelai ke China mengalami kerugian hingga US$ 280 juta akibat diberlakukannya tarif dari kedua negara itu. Presiden North Dakota Farmers Union Mark Watne mengungkapkan tarif tersebut merusak harga dan penjualan kedelai di AS.
Selain kedelai, China juga 'menderita' karena produk seperti baterai ponsel juga terkena tarif oleh AS. Hal ini menyebabkan pelanggan mulai membeli dari negara lain.
Sebuah laporan dari Asosiasi Teknologi Konsumen di China menyebutkan tarif yang diberlakukan AS untuk produk impor China mencapai US$ 1 miliar per bulan. Ini menekan kinerja perusahaan ritel, manufaktur dan konstruksi AS yang harus membayar lebih tinggi.
Kemudian tiga produsen mobil terbesar di AS seperti Detroit-General Motors, Ford dan Fiat Chrysler Automobiles menyebut jika biaya tarif yang tinggi akan menghasilkan keuntungan hingga US$ 1 miliar tahun ini. (kil/eds)