Dalam sambutannya Sri Mulyani juga menegaskan, bahwa pihaknya mengumpulkan para pengusaha bukan untuk menagih pajak. Justru pemerintah ingin berdiskusi dengan mereka.
Menurut Sri Mulyani momok dari Ditjen Pajak ataupun Ditjen Bea Cukai dianggap menyeramkan bagi para pengusaha. Sehingga setiap pengusaha diajak bertemu pikirannya selalu negatif
Padahal pemerintah ingin meminta masukan tentang kebijakan fiskal yang akan dibuat. Salah satunya tentang perpajakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya saya dapat Rp 1 triliun, masuk ke kas negara. Itu bisa dipakai untuk bayar gaji guru, gaji polisi, ada yang untuk bangun jalan, sekolah, rumah sakit hingga subsidi. Coba itu nanti habis saja," terangnya.
Sri Mulyani berfikir, bagaimana dampaknya jika uang Rp 1 triliun itu tidak ditarik oleh negara sebagai pajak dan masih tetap di kantong para pengusaha. Menurutnya bisa saja uang Rp 1 triliun itu lebih bermanfaat bagi perekonomian bila masih di kantong pengusaha.
"Coba kalau Rp 1 triliun itu tetap ada di kantong bapak ibu tidak saya ambil. Terus dipakai investasi baru, jangan-jangan dampaknya lebih bagus buat ekonomi dibanding untuk subsidi yang hilang begitu saja. Atau tambahan gaji tapi birokratnya makin tidak professional," tuturnya.
Kemungkinan itu bisa saja terjadi, namun kata Sri Mulyani, asalkan pengusahanya benar-benar mengembangkan usahanya di Indonesia dengan berinvestasi. Sehingga bisa menambah lapangan pekerjaan.
"Asal jangan dibawa ke luar negeri, kalau iya ya saya ambil. Tapi kalau buka usaha, buka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan dapat profit. Itu saya lebih senang," tegasnya.
Jika itu disepakati, Sri Mulyani ingin membuat perjanjian. Sebab menurutnya urusan ekonomi negara bukan main-main.
"Kita tidak main-main, ini serius. Coba kita pikirkan Rp 1 triliun itu tetap di kantong pengusaha vs kantong negara," tutupnya. (das/ang)