Gelar Menkeu Terbaik Asia Pasifik Sri Mulyani Diragukan

Gelar Menkeu Terbaik Asia Pasifik Sri Mulyani Diragukan

Puti Aini Yasmin - detikFinance
Minggu, 07 Apr 2019 12:24 WIB
Gelar Menkeu Terbaik Asia Pasifik Sri Mulyani Diragukan
Foto: Edi Wahyono

Ekonom dari Indef mengkritik gelar yang dinobatkan pada Sri Mulyani menurutnya ada beberapa hal yang menjadi indikator penilaian atas penobatan gelar tersebut. Pertama defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang menurun.

Hanya saja, kata Bhima, penurunan defisit bukan karena pengelolaan yang ideal. Melainkan dialokasikan ke belanja pemerintah jelang pemilihan umum (pemilu).

"Pertama kenapa defisit anggaran menurun? Karena pemerintah melakukan efisiensi. Ada yang dipotong, jelang pemilu subsidi dinaikin kembali. Berimplikasi terhadap dorongan dari belanja pemerintah subsidi anggaran masyarakat," kata dia kepada detikFinance, Sabtu (6/4/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alhasil, Bhima menilai hal tersebut dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan begitu daya beli maayarakat akan mengalami penurunan.

Kemudian, defisit anggaran juga dinilai dari alokasi ke pembangunan infrastruktur. Hanya saja, ternyata belanja pemerintahan meningkat dan menyebabkan postur APBN kurang produktif

"Masalahnya yang naik justru cukup tinggi itu belanja belanja yang sifatnya belanja konsumtif bukan infrastruktur, ada di belanja pegawai. Kemudian, belanja barang justru ini menunjukkan postur APBN kurang produktif," ungkapnya.

Selain itu, kreteria penilaian lainnya juga dilihat dari nilai tukar rupiah yang mengalami perbaikan. Padahal di balik itu terdapat penjualan surat utang dengan bunga yang tinggi mencapai 8%.

Bunga yang ditawarkan tersebut pun memiliki risiko di masa mendatang bila jatuh tempo.

"Dalam jangka panjang bunga yang 8% itu termahal se-Asia Pasifik. Bunga utang ini bisa berbahaya bagi APBN kita karena ruang fiskal kita semakin sempit sebagian sudah untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang. Nah ini yang kita pahami bahwa ada resiko juga," ungkapnya.

Terakhir, kreteria penilaian diambil dari pertumbuhan ekonomi yang terjaga dengan baik. Padahal, Bhima mengungkapkan sebenarnya pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dibanding negara tetangga.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata bisa menjadi jebakan di mana Indonesia tak akan menjadi negara maju.

"Faktanya kita mulai tertinggal dengan negara tetangga kita salah satunya adalah Vietnam yang pertumbuhannya diatas 6% kemudian juga Filipina yang sudah di atas 6%. Ini menandakan apa? Menandakan bahwa dengan ekonomi sebesar Indonesia kita hanya tumbuh 5% justru dikhawatirkan kita akan masuk ke dalam jebakan kelas menengah. 2030 kita nggak akan bisa jadi negara maju, jadi kita tidak akan maju sebelum kita mencapai usia yang kemudian tua," tutupnya.

(dna/dna)
Hide Ads