Pengamat ekonomi Yanuar Rizky mengungkapkan dengan sokongan modal tersebut, Grab memang leluasa menerobos pasar. Karena itu, katanya, pemerintah perlu mencermati adanya potensi persaingan tidak sehat atau monopoli.
"Itu arah konglomerasi bagaimana menguasai pasar dengan bakar duit mencapai harga serendah-rendahnya. Yang mengerikan, sewaktu tidak ada rival, maka perusahaan yang menang itu bakal seenaknya terhadap konsumen," tegas Yanuar di Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Belakangan, aliran dana jumbo itu pun kembali mengalir kepada Grab Inc. Bahkan, sebelum kembali mendapatkan dana segar, Grab telah lebih dulu mengakuisisi Uber, yang telah jadi salah satu pemain transportasi daring di Indonesia.
Penambahan modal Grab berasal dari putaran pendanaan seri H dengan target investasi mencapai US$ 6,5 miliar. Sekejap, manajemen Grab Inc telah memperoleh suntikan dana berkisar US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 63 triliun.
Dari pendanaan senilai US$ 4,5 miliar tersebut, Softbank diketahui menanamkan investasi hingga US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 19,6 triliun. Dana tersebut pun telah diakui untuk memperluas cakupan pasar potensial, termasuk Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hampir senada, eks Wakil Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi menegaskan secara umum gelombang digitalisasi ekonomi kerapkali tidak dibarengi langkah antisipatif. Termasuk, lanjutnya, kemungkinan persaingan tak sehat di bisnis transportasi daring.
"Dengan dana besar disokong pemodal global, strategi semisal akuisisi atau lainnya bisa menimbulkan persaingan bisnis tak sehat, bahkan monopoli. Selayaknya KPPU bisa mengawasi," kata Nawir Messi.
(hek/fdl)