Menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, aturan upah lama buruh berdasarkan PP 78/2015 hanya memiliki besaran kenaikan rata-rata 8%. Hal ini pun dinilai tak adil karena bisa menyebabkan kesenjangan antar daerah.
"Terkait angka 8% yang terus menerus ini kan berlaku di seluruh Indonesia. Misal Jakarta dan Bekasi kesenjangan akan makin tinggi, akhirnya makin senjang antara Bekasi dan Jakarta ini makin tidak bener. Ini bagian yang harus direvisi," ungkap dia dalam acara Pas FM di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (8/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Timboel mengatakan agar aturan tersebut diubah menjadi seperti yang lama yakni berdasarkan konsultasi antar tiga pihak, yakni pemerintah, pengusaha, dan buruh atau tripartite.
"Melibatkan tripartit, lakukan lah sesuai kondisi lapangan. Makanya mekanisme survei itu lebih baik dibandingkan harus menetapkan secara nasional. Ini yang harus dikembalikan objektif persoalan upah itu harus dikembalikan kepada daerah," terangnya.
Ekonom dari Center of Reform on Econics (CORE) Piter Abdullah mengatakan aturan upah buruh memang perlu direvisi, sebab aturan lama tak sesuai dengan laju pertumbuhan industri.
Piter mengungkapkan, ada beberapa perusahaan yang pertumbuhannya tak mampu mencukupi kenaikan upah sebesar 8%.
"Setelah berjalannya waktu, beban kan berbeda-beda, ada pengusaha yang pertumbuhan mencukupi kenaikan 8%. Tapi bagaimana garmen dan tekstil yang pertumbuhan nggak mengakomodasi kenaikan upah minimum 8%?" terang dia.
Dengan begitu, diharapkan adanya formula perhitungan upah buru baru yang melibatkan pemerintah, pengusaha, serta buruh itu sendiri. Jokowi sendiri telah menyetujui adanya revisi PP No 78 Tahun 2015 beberapa waktu lalu. (hns/hns)