Menurut Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo banyak perusahaan dan konglomerat Indonesia yang melakukan upaya penghindaran pajak melalui tax planning. Kebanyakann dari mereka melalukan tax avoidance.
Tax avoidance adalah trik penghindaraan pajak. Caranya dengan memanfaatkan celah dari peraturan pajak yang ada. Upaya ini legal namun tidak etis dilakukan.
Sedangkan tax evasion adalah penggelapan pajak. Cara ini terbilang kotor dan ilegal karena melakukan pengurangan pajak terutang atau bahkan tidak membayar pajak sama sekali. Nah yang banyak dilakukan perusahaan dan konglomerat di Indonesia adalah tax avoidance.
"Tidak melanggar UU, tapi tidak etis. Karena memanfaatkan celah atau lubang aturan yang ada. Mungkin karena dulu belum diatur, terlambat diatur atau mungkin ini dulu belum menjadi masalah," ujarnya kepada detikFinance, Jumat (5/7/2019).
Otoritas pajak RI sebenarnya sudah memiliki Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Namun aturan itu dianggap belum cukup kuat.
Menurut Yustinus diperlukan kebijakan yang jauh lebih tinggi seperti undang-undang. Sehingga dia menilai perlu adanya perubahan dari sisi undang-undang pajak.
"Jadi UU ini harus diperkuat supaya menutup celah tax avoidance. Karena mereka memanfaatkan kelemahan aturan," tambahnya.
Namun untuk menutup celah tersebut, sebenarnya Ditjen Pajak sudah memiliki senjata yakni melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Melalui AEoI bisa menelusuri para perusahaan yang melakukan tax avoidance seperti transfer pricing.
"Sekarang kan ada AEoI itu bisa digunakan. Secara proaktif bisa langsung digunakan. Ada mutual legal assistance. Kalau di sini susah penyidikan, kita bisa minta," ujar Yustinus.
(das/ara)
Simak Video "Video: Jualan Online Makin Cuan? Selamat, Kini Kena Pajak 0,5%"
[Gambas:Video 20detik]