Lantas, berapa setoran pajak yang bisa diraih pemerintah dari kebijakan tersebut? Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Robert Pakpahan menjelaskan potensi penerimaan pajak bisa dihitung dari total konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari industri-industri digital tersebut. Misalnya, ketika seseorang berlangganan Netflix, nantinya pajak yang dikenakan berasal dari total konsumsinya (bisa per bulan).
Robert menjelaskan, jumlah konsumsi jasa dan barang tak berwujud dari Google Cs setiap tahun mengalami peningkatan. Pada 2018, tercatat total konsumsi barang tak berwujud dan jasa dari luar negeri mencapai Rp 93 triliun. Berdasarkan riset Google-Temasek, pada tahun 2025 konsumsinya akan meningkat Rp 270 triliun.
Maka, pajak yang dikenakan ia mencontohkan seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%. Sehingga, dari Rp 270 triliun, potensi penerimaan pajak Indonesia sekitar Rp 27 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Robert mengatakan, rencana ini masih dimatangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian. RUU tersebut akan menetapkan perluasan definisi dari Badan Usaha Tetap atau BUT yang selama ini dinilai mempersulit pemberlakuan pajak terhadap Google Cs.
"Kalau dari luar negeri tiba-tiba tidak bayar itu kan tidak level of playing field. Memang PPN kan mengatur konsumsi obyek. Sekarang kita definisikan BUT melampaui physical presence sambil menunggu solusi G20, tapi kita jalankan bertahap," ucapnya.
Selain Google Cs, pemerintah juga berencana mengenakan pajak terhadap pembuat konten atau pengiklan di sosial media, yang berupa PPN 10%.
(hns/hns)