Melihat Topi Anyaman Khas Miangas yang Sudah Jarang Ditemukan

Melihat Topi Anyaman Khas Miangas yang Sudah Jarang Ditemukan

Faidah Umu Sofuroh - detikFinance
Sabtu, 28 Sep 2019 15:57 WIB
Foto: Muhammad Ridho
Kepulauan Talaud - Saat kamu bertandang ke Miangas, pulau terdepan di bagian utara Indonesia, kamu mungkin akan dibuat bingung saat keluarga, kawan, maupun rekan kerja meminta oleh-oleh khas Miangas. Sebab, hampir tak ada oleh-oleh yang bisa dibawa dari Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud.

Pulau yang berpenduduk kurang lebih seribu jiwa ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai pedagang sembako, nelayan, dan petani kelapa. Meskipun sudah ada bandara yang meningkatkan jumlah kunjungan ke Miangas, tapi tak begitu membuat perubahan banyak di sektor pariwisatanya.

"Jumlah kunjungan memang meningkat setelah bandara beroperasi. Namun, kita (warga) musti lebih siap lagi untuk memberikan pelayanan terhadap para wisatawan seperti penyediaan homestay dan rumah makan," ungkap Camat Khusus Miangas, Sepno Lantaa kepada detikcom belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Salah satu hal yang perlu diperhatikan setelah penyediaan homestay dan rumah makan yaitu buah tangan. Setiap orang yang berkunjung ke suatu daerah, pasti akan mencari oleh-oleh khas daerah tersebut.

Di Miangas sebenarnya ada usaha kerajinan topi dan tikar anyaman. Namun, belakangan ini topi dan tikar khas Miangas ini sudah tak lagi diproduksi. Dorlince Bulele, salah seorang perajin topi dan tikar anyaman mengatakan bahwa dia kini hanya membuat topi jika ada pesanan dari tamu atau pejabat yang datang.

"Dulu Mama membuat ini untuk dijual ke Filipin, hasilnya untuk membeli beras, gula, baju, dan bahan dapur. Setelah ada kapal Perintis, kami menganyam tikar untuk dijual di Manado atau di Beo, di Lirung, di kabupaten, dan di kampung-kampung lain. Tapi sekarang kalau ada tamu saja," tuturnya.

Wanita berusia 60 tahun ini juga mengatakan bahwa kini sisa 3 orang saja termasuk dirinya yang bisa membuat topi dan tikar anyaman. Tak ada anak muda yang mau melanjutkan budaya menganyam topi dan tikar.

"Saya belajar dari mama saya, dulu itu hampir semua orang bisa, lalu kalau mereka bisa kenapa saya tidak, jadi saya belajar. Sekarang sudah tidak ada lagi anak muda yang mau belajar, susah katanya," ujar Dorlince.


Selain sulit, alasan lain yang membuat usaha topi anyaman ini hampir mati adalah bahan topi yang sulit dicari. Bahan baku topi dan tikar anyaman ini adalah daun pandan yang biasa tumbuh di pinggir pantai.

Setelah dipotong sesuai dengan kebutuhan dan dibuang durinya, daun ini kemudian dijemur hingga kering. Setelah kering, baru direndam dengan air yang telah diberi pewarna. Ada 5 warna yang tersedia yaitu ungu, merah mudah, hijau, putih dan merah darah.

"Warnanya bisa dicampur sesuka kita. Tapi pewarna ini yang buat mahal, satu sendok kecil itu harganya Rp 100 ribu itu bisa untuk 5 topi saja," katanya menjelaskan.

Karya khas Miangas ini berusaha untuk digenjot Rumah Kreatif BUMN (RKB) milik BRI yang ada di Miangas. Meita Sul Halena Lantaa, koordinator RKB BRI Miangas mengatakan bahwa kurangnya kemauan warga untuk mengembangkan industri kreatif di Miangas ini menjadi salah satu kendala perkembangan RKB BRI.

"Padahal hasilnya bagus, kalau berkembang bisa untuk tingkatkan ekonomi warga. Kita juga sudah mengajukan ke unit untuk dibuatkan pelatihan, tapi belum ada tanggapan lebih lanjut," ujarnya.

detikcom bersama Bank BRI mengadakan program Tapal Batas yang mengulas perkembangan infrastruktur, ekonomi, hingga wisata di beberapa wilayah terdepan. Untuk mengetahui informasi dari program ini, ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!


(ujm/ujm)

Hide Ads