Kondisi keuangan Sriwijaya Air semakin amburadul. Kendala di sektor operasional membuat perusahaan semakin tekor, bahkan mencapai Rp 3,2 miliar selama kurang dari 1 bulan.
Direktur Operasi Sriwijaya Air Capt. Fadjar Semiarto menjelaskan, potensi yang memberatkan keuangan perusahaan adalah terkait service recovery atau uang ganti rugi untuk seluruh kegiatan operasional.
"Ada potensi memang, tapi dana untuk service recovery baik retiming penalty 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam sampai pax transfer itu dananya masih ada. Tapi dalam sehari saya bisa tanda tangan mungkin mendekati Rp 1 miliar untuk service recovery," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita biasajya kasih KFC atau MCD, nah untuk harganya tergantung dari lokasinya," ujarnya.
Bukan hanya itu, menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015, jika telat hingga 4 jam, maskapai harus membayarkan kompensasi hingga Rp 300 ribu. Jika penumpang ingin tetap berangkat, maskapai juga harus membelikan tiket penumpang ke maskapai lainnya.
Lalu jika tidak ada penerbangan lainnya, maskapai juga harus menanggung biaya penginapan untuk penumpang.
Nah yang menjadi masalah, armada pesawat Sriwijaya Air sudah berkurang jauh sejak berpolemik dengan Garuda Indonesia. Sejak GMF Aero Asia tak lagi membantu Sriwijaya Air banyak pesawatnya yang tak bisa beroperasi.
"Bayangkan dari 30 pesawat jadi hanya 10 pesawat. Itu kan artinya kita harus memotong jumlah penumpang. Banyak yang kita cancel penerbangannya," ujarnya.
Dengan membatalkan banyak penerbangan, maka Sriwijaya Air harus membayarkan seluruh servicer recovery itu. Menurut catatannya dari 3-26 September 2019 total service recovery yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 3,2 miliar. (das/ang)