5 Tahun Pertama Berkuasa, Jokowi Gagal Capai Target Pertumbuhan

5 Tahun Pertama Berkuasa, Jokowi Gagal Capai Target Pertumbuhan

Hendra Kusuma - detikFinance
Sabtu, 05 Okt 2019 08:00 WIB
1.

5 Tahun Pertama Berkuasa, Jokowi Gagal Capai Target Pertumbuhan

5 Tahun Pertama Berkuasa, Jokowi Gagal Capai Target Pertumbuhan
Presiden Jokowi/Foto: (Andhika Prasetia/detikcom).
Jakarta - Selama lima tahun pertama berkuasa, target pertumbuhan ekonomi yang dipasang Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah tercapai. Target pertumbuhan tersebut tercantum dalam RPJMN alias Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.

Hasil evaluasi RPJMN 2014-2019, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas) Bambang Brodjonegoro masih banyak target yang belum tercapai target, salah satunya pada pertumbuhan ekonomi.

Banyak faktor yang membuat Pemerintah tak mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi selama lima tahun. Baca di sini ulasan selengkapnya:
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, sejak 2014 ekonomi nasional hanya mampu tumbuh di level 5,02%. Angka tersebut jauh berbeda dari asumsi dasar yang dipasang pemerintah dalam APBN, yakni sebesar 5,5%.

Alih-alih semakin naik, angka ekonomi nasional pada 2015 yakni 4,88%. Angka tersebut turun drastis dan menjadi yang paling rendah sejak enam tahun sebelumnya.

Sedangkan pada 2016, ekonomi nasional ditargetkan sebesar 5,1% kembali tidak mampu direalisasikan pemerintah. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di tahun ini hanya berada di level 5,02%.

Selanjutnya, pemerintah juga tidak bisa merealisasikan pertumbuhan ekonomi di level 5,2% pada 2017. Sepanjang tahun 2017, perekonomian nasional hanya berada di level 5,07%.

Terakhir, tahun 2018 pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,17%. Angka ini pun lagi-lagi tidak sejalan dengan target yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABNP) 2018 sebesar 5,4%.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2014 berjanji akan membuat ekonomi Indonesia tumbuh hingga 7%. Namun, hingga akhir jabatannya bersama Wapres Jusuf Kalla belum pernah sekalipun berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi yang direncanakan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, sejak 2014 ekonomi nasional hanya mampu tumbuh di level 5,02%. Angka tersebut jauh berbeda dari asumsi dasar yang dipasang pemerintah dalam APBN, yakni sebesar 5,5%.

Alih-alih semakin naik, angka ekonomi nasional pada 2015 yakni 4,88%. Angka tersebut turun drastis dan menjadi yang paling rendah sejak enam tahun sebelumnya.

Sedangkan pada 2016, ekonomi nasional ditargetkan sebesar 5,1% kembali tidak mampu direalisasikan pemerintah. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di tahun ini hanya berada di level 5,02%.

Selanjutnya, pemerintah juga tidak bisa merealisasikan pertumbuhan ekonomi di level 5,2% pada 2017. Sepanjang tahun 2017, perekonomian nasional hanya berada di level 5,07%.

Terakhir, tahun 2018 pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,17%. Angka ini pun lagi-lagi tidak sejalan dengan target yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABNP) 2018 sebesar 5,4%.

Peneliti dari INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan faktor domestik lebih dominan sebagai penyebab target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai selama lima tahun ini.

"Jadi problem dari sisi domestiknya lebih dominan dibanding faktor global," kata Bhima saat dihubungi detikcom, Jakarta, Jumat (4/10/2019).

Di tengah kondisi global yang tidak menentu, Bhima bilang Indonesia masih belum bisa lepas dari ketergantungan ekspor komoditas. Karena, di tengah ketidakpastian global kebutuhan negara tujuan utama ekspor komoditas mengalami penurunan.

Selanjutnya, kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty telah membuat kalangan menengah atas menahan belanja. Padahal, konsumsi rumah tangga menjadi kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

"Jelang pemilu kemarin juga banyak yang wait and see sampai sekarang karena instabilitas politik," jelas Bhima.

Tidak hanya itu, implementasi 16 paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan Pemerintah juga belum memberikan dampak optimal. Ditambah lagi industri manufaktur nasional lesu.

Sementara Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengatakan bahwa kebijakan yang diterbitkan Pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target RPJMN belum tepat.

Peneliti dari INDEF, Bhima Yudhistira menyarankan agar Pemerintah menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN tidak perlu tinggi atau sesuai realitas.

"Asumsi pertumbuhan ekonomi baik di RPJMN maupun APBN jangan dibuat terlalu muluk. Yang realistis saja. Toh kita akan hadapi resesi ekonomi paling lambat 2021," kata Bhima saat dihubungi detikcom, Jakarta, Jumat (4/10/2019).

Saran selanjutnya yang perlu dilakukan Pemerintah dalam rangka mengejar target pertumbuhan ekonomi adalah mengimplementasikan 16 paket kebijakan ekonomi secara konsisten.

Maksudnya, lanjut Bhima, mengevaluasi 16 paket kebijakan yang sudah diterbitkan Pemerintah agar mengetahui mana yang berjalan dan tidak.

Upaya selanjutnya, dikatakan Bhima adalah menjaga stabilitas politik dan keamanan tanah air. Sebab, dengan situasi kondusif memberikan dampak positif bagi investor maupun masyarakat.

Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, Pemerintah harus membuat kebijakan yang mampu meningkatkan permintaan domestik di tengah kondisi global yang tidak menentu.

Menurut Piter, kondisi perekonomian global yang sedang melambat serta kinerja ekspor nasional yang melambat tidak ditanggulangi oleh kebijakan yang tepat.

Hide Ads