Jakarta -
Bisnis jasa titip (jastip) sedang tren saat ini. Di sisi lain, belum ada aturan yang khusus mengatur bisnis ini, padahal barang yang yang dititip dari luar negeri dan harganya bisa berjuta-juta.
Pemerintah pun meminta para pelaku jastip mematuhi batasan harga yang berlaku untuk barang bawaan dari luar negeri, yaitu U$S 500 atau setara Rp 7 juta (Kurs Rp 14.000/US$) per orang.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut. Apabila melampaui ketentuan tersebut, maka pelaku jastip wajib membayar pajak dan bea masuk. Informasi selengkapnya bisa dibaca di sini:
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan belum lama ini berhasil menindak pelaku usaha jasa titipan (jastip) yang menyalahgunakan sistem atau aturan yang diberlakukan oleh Pemerintah. Sebanyak 14 orang pelaku usaha Jastip berhasil digagalkan oleh DJBC lantaran membawa barang dari luar negeri yang melewati batas ketentuan dan untuk diperdagangkan kembali.
Kasubdit Komunikasi Dan Publikasi DJBC, Deni Surjantoro mengatakan para pelaku jastip bisa memanfaatkan batasan ketentuan barang bawaan yang selama ini ditetapkan sebesar US$ 500 per orang atau setara Rp 7 juta (Kurs Rp 14.000).
"Itu betul, untuk barang keperluan pribadi," kata Deni saat dihubungi detikcom, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
DJBC menerapkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut. Dalam beleid ini, batasannya ditetapkan sebesar US$ 500 per individu. Jika melebihi batasan maka kelebihannya itu yang dikenakan pajak.
Dengan adanya aturan itu, maka setiap masyarakat yang bepergian ke luar negeri lalu membawa barang titipan alias oleh-oleh namun ingin terbebas dari bea masuk maka harus mengikuti ketentuan PMK. Jika terbukti melebihi batas ketentuan, maka harus membayar kewajiban perpajakannya.
Adapun, kewajiban membayar perpajakan dari barang bawaan yang dihitung adalah kelebihan nilai dari batas ketentuan yang berlaku. Menurut Deni, ketentuan ini hanya berlaku untuk barang pribadi, bukan untuk dijual kembali.
Meski demikian, Deni menegaskan bahwa bagi masyarakat yang memang melakukan usaha jastip lebih baik mendeklarasikan bahwa barang yang dibawa merupakan untuk kepentingan dagang.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengungkapkan ada sederet kewajiban perpajakan yang harus dilunasi bagi masyarakat atau pelaku usaha jasa titipan (jastip) yang tetap ingin membawa barang dari luar negeri lewat dari batas ketentuan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut. Dalam beleid ini, batasannya ditetapkan sebesar US$ 500 per individu. Jika melebihi batasan, maka kelebihannya itu yang dikenakan pajak.
Kasubdit Komunikasi Dan Publikasi DJBC, Deni Surjantoro mengatakan mengatakan, kewajiban yang harus dipenuhi para pelaku jastip mulai dari bea masuk hingga pajak dalam rangka impor.
"Yang harus dibayar bea masuk, pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," kata Deni saat dihubungi detikcom, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
PMK nomor 203/PMK.04/2017 sejatinya hanya untuk masyarakat yang gemar jalan-jalan ke luar negeri. Namun, seiring waktu berjalan banyak masyarakat yang memanfaatkan batasan tersebut sebagai peluang bisnis, salah satunya jastip.
Namun, Deni menegaskan bahwa aturan tersebut hanya memberikan pembebasan bea masuk bagi masyarakat yang membawa oleh-oleh dari luar negeri di bawah batas ketentuan. Jika melebihi, maka masyarakat akan membayarkan kewajiban pajaknya dari sisa nominal batasan.
Misalnya, seorang masyarakat membawa oleh-oleh dengan total nilai US$ 550, maka yang dikenakan bea masuk, PPh, dan PPN adalah US$ 50.
Dikatakan Deni, DJBC Kementerian Keuangan mengimbau kepada seluruh masyarakat terutama pelaku usaha jastip untuk mengisi dokumen pemberitahuan impor barang khusus (PIBK) setelah mendarat di tanah air.
Pemerintah sampai saat ini belum mengatur secara resmi mengenai usaha jasa titipan (jastip) yang sekarang sudah menjamur di Indonesia. Jastip biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat yang bepergian ke luar negeri.
Dengan bepergian ke luar negeri, maka masyarakat bisa membuka jasa pembelian barang-barang yang ada di negara tujuan dan biasanya calon pembeli akan dikenakan tambahan biaya dari harga barang yang dititipnya.
Belakangan ini, usaha jastip sering disalahgunakan oleh sebagian masyarakat khususnya dalam membayarkan kewajiban perpajakannya. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan bahwa usaha jastip tetap bisa dijalankan selama membayarkan kewajiban perpajakan.
"Setahu saya tidak ada aturan yang melarang jastip sih. Tapi memang harus tetap bayar bea masuk," kata Untung saat dihubungi detikcom, Jakarta, Jumat (4/10/2019).
Pelaku usaha jastip saat ini biasanya bergerak pada sektor e-commerce dan langsung ke individu. Khusus yang e-commerce, pemerintah telah mengaturnya lewat PMK-112/PMK.04/2018. Di mana batasan yang ditetapkan untuk barang yang diimpor sebesar US$ 75. Jika lewat dari batasan maka diwajibkan membayar bea masuk.
Sedangkan untuk individu sampai saat ini tidak ada aturan khusus yang mengaturnya. Namun, biasanya para pelaku jastip bisa mengacu pada PMK nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut. Dalam beleid ini, batasannya ditetapkan sebesar US$ 500 per individu. Jika melebihi batasan maka kelebihannya itu yang dikenakan pajak.
Menurut Untung, pelaku usaha jastip di tanah air seharusnya tertib membayar kewajiban pajak. Sebab, mendapatkan keuntungan dari setiap barang yang dibeli atau barang komersil.
Halaman Selanjutnya
Halaman