PR Besar Ekonomi di Periode Kedua Jokowi

PR Besar Ekonomi di Periode Kedua Jokowi

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Minggu, 20 Okt 2019 07:15 WIB
Halaman ke 1 dari 4
1.

PR Besar Ekonomi di Periode Kedua Jokowi

PR Besar Ekonomi di Periode Kedua Jokowi
Foto: Edi Wahyono
Jakarta - Presiden Joko Widodo akan melanjutkan pemerintahan periode kedua yaitu 2019-2024.

Dari pemerintahan periode sebelumnya, Jokowi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, terutama di sektor ekonomi.

Apa saja PR nya? Berikut berita selengkapnya:
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan masih ada sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Jokowi di periode kedua jabatannya.

Misalnya PR untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional. Kemudian meningkatkan tenaga kerja hingga menjaga kesejahteraan masyarakat.

Dia menjelaskan solusi agar masalah-masalah tersebut selesai adalah Jokowi harus membentuk tim ekonomi yang tepat agar bisa langsung mengeksekusi rencana-rencana ke depan.

"Solusi dalam jangka pendek adalah dimulai dari pemilihan tim ekonomi yang berkualitas, ahli eksekusi, profesional dan punya integritas tinggi," kata Bhima saat dihubungi detikcom, Sabtu (19/10/2019).

Kemudian, selanjutnya adalah tinggal masalah koordinasi lintas sektoral dan pengawasan.

Menurut Bhima hal tersebut harus segera dilakukan pasalnya tantangan ekonomi ke depannya akan semakin berat. Apalagi dengan kondisi ekonomi global yang juga melambat.

Peneliti CSIS Fajar B Hirawan menjelaskan di putaran kedua, Jokowi harus melanjutkan dan menuntaskan reformasi struktural. Kemudian peningkatan daya saing dan produktivitas juga harus menjadi perhatian utama.

"Kemudian ada ekonomi digital dan antisipasi disrupsi teknologi serta akses pembiayaan adalah empat komponen reformasi struktural yang perlu direalisasikan dan dituntaskan dalam lima tahun ke depan," jelas dia.

Fajar menambahkan gebrakan ekonomi memang wajib dilakukan oleh pemerintah dengan susunan kabinet kerjanya. Diharapkan para profesional ataupun teknokrat yang akan mengisi bagian tersebut.

"Bukan para politisi yang sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya," imbuh dia.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memberi catatan bagi para menteri pada jilid I pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terkait sejumlah regulasi atau peraturan dalam berusaha yang praktiknya masih tumpang tindih dengan aturan lain.

"Ada aturan yang tidak sinkron, tidak konsisten, beda penafsiran," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani, saat dihubungi detikcom, Sabtu (19/10/2019).

Haryadi mencontohkan beberapa peraturan yang tidak sinkron dengan regulasi pendukungnya. Untuk masalah pertambangan, ia mempertanyakan siapa yang sebetulnya bertanggung jawab atas smelter di industrinya. Sementara, yang terjadi adalah keluar izin dari kedua belah pihak.

"Apakah itu masih di bawah ESDM atau di bawahnya Kementerian Perindustrian? Nah yang terjadi izinnya keluar dua gitu loh ini kan aneh gimana sih," katanya.

"Jelas-jelas ini adalah masuknya dalam ranah smelter, udah masuk perindustrian dong harusnya, karena dia nggak nambang nih perusahaan. Nah tapi ESDM ikut campur gitu loh. Kalau ESDM caranya adalah konsesi untuk menambangnya. Harusnya dia nggak ikutan di dalam urusan smelternya," sambung Haryadi.

Kemudian untuk masalah lahan atau tata ruang, kata Haryadi, pemerintah daerah telah mengikuti aturan tata ruang terkait pembuatan perkebunan, tiba-tiba Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bisa mengeluarkan suatu ketentuan bahwa perkebunan tersebut masuk dalam kategori hutan lindung.

"Ini kan langsung jadi masalah. Masalah kebijakan tata ruang dan pertanahan itu terjadi," ungkapnya.

Hariyadi berharap, melalui omnibus law ke depan pemerintah bisa memudahkan dan menyederhanakan regulasi yang ada. Untuk itu, menteri-menteri ekonomi pada jilid II Pemerintahan Jokowi diharapkan adalah orang yang berkompeten di bidangnya.

"Sekarang ini yang harus dilakukan adalah sinkronisasi regulasi. Agar tidak ada lagi tumpang tindih aturan. Untuk mensukseskan itu, menteri-menterinya ini harus ngerti. Kalau dia nggak ngerti gimana dia mau beresin omnibus law. Jadi kompeten ini paling penting sehingga akan memudahkan di dalam menyederhanakan regulasi yang ada," tutup Haryadi.

Wakil Ketua Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menilai penerapan kebijakan ekonomi dengan berlandaskan Pancasila atau Pancasilanomics bisa menyelesaikan PR tersebut.

"Pancasilanomics ada aspek keadilan. Kita tahu pelaku usaha yang terbanyak kecil menengah dan mikro itu jumlahnya 63 juta atau 99,99% dari seluruh pelaku usaha. Mereka ini sumbang 60% terhadap PDB nasional dan menyerap 97% tenaga kerja," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (19/10/2019).

Dia menjelaskan, prinsip Pancasilanomics, pada dasarnya memiliki tiga corak inti yang utama. Pertama, ia merupakan ruh dari ekonomi yang dikehendaki oleh konstitusi. Kedua, ia tidak anti terhadap pasar, karena justru di pasar itu lah perlu ada perlindungan terhadap pelaku-pelaku ekonomi agar dapat berelasi dengan adil.

Ketiga, sebagai konsekuensi dari dua poin sebelumnya, maka negara harus hadir untuk mendukung serta menopang pelaku pasar yang lemah dan terlemahkan.

"Karena prinsip keadilan, pelaku usaha yang besar bukan berarti dimatikan, tapi diarahkan berkompetisi regional global. Sementara yang menengah kecil harus menguasai agar bisa berkembang," ujarnya.

Dengan memberikan peluang besar bagi pelaku usaha menengah dan kecil, maka ekonomi Indonesia bisa tumbuh dengan kualitas sumber daya lokal. Alhasil dampaknya meluas.

"Dengan meningkatnya kapasitas penjualan mereka, saya yakin kita bisa tumbuh di atas 7%," tambahnya.

Tak hanya itu, dengan fokus mengembangkan pelaku usaha kecil dan menengah maka akan berdampak pada membaiknya neraca dagang. Sebab mayoritas mereka mengambil bahan baku dari dalam negeri, impor pun bisa ditekan.

Dengan neraca dagang yang membaik, maka akan berdampak juga terhadap pada nilai tukar. Selain itu, dampak pentingnya bisa menambah jumlah lapangan kerja yang ujungnya menekan kesenjangan sosial atau gini ratio.

Hide Ads