-
Utang luar negeri (ULN) merupakan fasilitas pinjaman yang biasa didapatkan oleh sebuah negara untuk menutupi pembiayaan yang tak bisa dipenuhi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki utang luar negeri dengan beberapa negara, termasuk China.
Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) periode Agustus 2019, posisi ULN menurut pemberi kredit yang berasal dari China sebesar US$ 16,99 miliar atau setara dengan Rp 239,55 triliun (kurs Rp 14.100). Angka ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$ 16,93 miliar atau Rp 238,71 triliun.
Posisi ULN dari China menduduki posisi keempat. Pertama ditempati oleh utang luar negeri dari Singapura yang mencapai US$ 66,46 miliar, kemudian Jepang US$ 29,36 miliar lalu Amerika Serikat (AS) US$ 22,54 miliar.
ULN Indonesia pada akhir Agustus 2019 tercatat sebesar US$ 393,5 miliar atau sebesar Rp 5.548,35 triliun. Ini adalah jumlah utang dari kombinasi swasta dan pemerintah.
Angka ini tumbuh 8,8% secara tahunan (yoy) atau lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 10,9% (yoy).
Adapun ULN publik (pemerintah dan bank sentral) tercatat sebesar US$ 196,3 miliar, sedangkan ULN swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 197,2 miliar.
Pertumbuhan utang terutama dipengaruhi oleh transaksi pembayaran neto ULN. Perlambatan pertumbuhan ULN tersebut disebabkan oleh menurunnya posisi ULN publik dan ULN swasta dibandingkan dengan posisi pada bulan sebelumnya.
Dari data SULNI utang luar negeri adalah posisi utang yang menimbulkan kewajiban membayar kembali pokok atau bunga utang kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah dan tidak termasuk kontinjen.
Yang termasuk dalam pengertian utang luar negeri adalah surat berharga yang diterbitkan di dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali kepada pihak luar negeri atau bukan penduduk.
Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) seperti dikutip detikcom, Sabtu (19/10/2019) posisi ULN sebesar US$ 393 miliar.
Kemudian untuk pembayaran khusus utang pemerintah periode Agustus 2019 tercatat US$ 394 juta dengan utang pokok US$ 159 juta dan bunga bayar US$ 236 juta. Untuk Bank Sentral utang pokok tercatat US$ 145 juta dan bunganya US$ 7 juta.
Posisi pertama ULN pemerintah sendiri diduduki oleh Jepang sebesar US$ 12,85 miliar, kemudian diikuti oleh Jerman US$ 2,79 miliar, Prancis US$ 2,53 miliar dan China US$ 1,66 miliar.
Sedangkan utang bank sentral tak terdapat utang luar negeri dari China.
Selanjutnya untuk utang luar negeri swasta yang berasal dari China tercatat sebesar US$ 15,32 miliar atau sekitar Rp 216,01 triliun tumbuh dibandingkan periode bulan sebelumnya US$ 15,28 miliar atau Rp 215,44 triliun.
Posisi pertama ditempati oleh Singapura sebesar US$ 65,94 miliar, kedua Amerika Serikat (AS) US$ 21,6 miliar, ketiga Jepang US$ 15,32 miliar dan keempat China.
Untuk utang luar negeri swasta dengan jenis jangka pendek tercatat US$ 46,52 miliar, utang jangka panjang US$ 150,68 miliar. Total keseluruhan ULN menurut jangka waktu asal US$ 197,2 miliar.
Pinjaman dari luar negeri yang diberikan beragam, bisa bilateral, multilateral sampai fasilitas kredit.
Mengutip Statista.com, Sabtu (19/10/2019), berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh Kiel Institute For Global Economy, saat ini ada tujuh negara yang utangnya banyak ke China.
Bahkan sampai lewat dari 25% dari produk domestik bruto mereka. Apa saja negara itu? Indonesia masuk urutan nggak ya?
Statista mencatat negara terbanyak yang meminjam adalah Djibouti, Nigeria dan Republik Kongo. Ketiganya berada di Afrika. Kemudian ada empat negara lain yang berasal dari Asia yaitu Kyrgyzstan, Laos, Kamboja dan Maladewa.
Utang-utang ini merupakan pinjaman langsung dan tidak termasuk kepemilikan utang jangka pendek.
Di China, pinjaman luar negeri langsung mulai tumbuh pesat sekitar 2010 lalu. Hal ini karena China mampu memberikan pinjaman yang lebih besar dengan masa waktu yang lebih pendek dibandingkan meminta bantuan ke Bank Dunia.
Namun ada risiko gagal bayar di balik banyaknya utang luar negeri negara-negara tersebut ke China.