Konglomerat Ciputra Pun Pernah Nyaris Bangkrut

Konglomerat Ciputra Pun Pernah Nyaris Bangkrut

Melisa Mailoa, Pasti Liberti Mappapa - detikFinance
Rabu, 27 Nov 2019 07:49 WIB
Halaman ke 1 dari 2
1.

Konglomerat Ciputra Pun Pernah Nyaris Bangkrut

Konglomerat Ciputra Pun Pernah Nyaris Bangkrut
Ciputra. Foto: ist.
Jakarta - Saat usianya menginjak 60 tahun, Ciputra memutuskan dia akan pensiun dari Pembangunan Jaya lima tahun lagi. Pada 23 Juli 1996, setelah melewati Rapat Umum Pemegang Saham, setelah 30 tahun memegang kemudi perusahaan, Ciputra resmi mundur dari Direksi PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang dia dirikan pada 1961.

Baru setahun pensiun, badai datang menghantam Pembangunan Jaya dan perusahaan-perusahaan lain milik Ciputra yang bernaung di bawah grup Metropolitan Development maupun grup Ciputra.

"Sebenarnya sejak 1997 saya sudah punya firasat. Persoalan ekonomi di Thailand, Korea Selatan, dan beberapa negara Asia pasti akan menyambar Indonesia," kata Ciputra, dikutip dalam biografinya, The Passion of My Life, yang dia luncurkan akhir November 2017 silam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Namun saya berusaha optimistis."

Apalagi, sebelum awan gelap itu datang, kinerja hampir semua perusahaannya lumayan kinclong.

"Kami mengerjakan banyak proyek. Bahkan sebagian perusahaan punya utang dolar dalam jumlah besar kepada bank asing. Tapi kami tak khawatir karena proyek-proyek kami disambut hangat masyarakat....Tidak mungkin kami tidak bisa membayar utang," Ciputra menuturkan.

Tapi kali ini perhitungan dan keyakinan Ciputra meleset. Kekuatan rupiah cepat sekali lunglai di depan dolar Amerika Serikat. Dari semula nilai satu dolar hanya berkisar Rp 2.000, kemudian naik menjadi Rp 2.500, dan dalam waktu kurang dari setahun, nilai tukar dolar sudah melompat lebih dari lima kali lipat.

Maka celaka lah perusahaan-perusahaan Indonesia yang punya utang besar dalam dolar. Tiba-tiba utang mereka menggelembung sangat besar.

Manajemen Grup Ciputra panik. Perusahaan milik keluarga Ciputra ini punya utang hampir US$ 100 juta.

"Kami sama sekali tak menduga," ujar Ciputra.

Alih-alih membaik, kondisi perekonomian malah makin buruk. Utang perusahaan-perusahaan Ciputra menggelembung, dan pada saat bersamaan, penjualan menukik tajam.

"Pada satu titik saya paham, kapal kami telah karam meski belum tenggelam," kata Ciputra. "Secara logika, utang-utang kami akan sulit terbayar."

Kondisi Pembangunan Jaya yang usahanya banyak bergerak di bidang konstruksi dan properti, dua sektor yang paling terpukul krisis ekonomi, juga sama buruknya. Hanafi Lauw yang menggantikan posisi Ciputra sebagai nakhoda, sampai terkena stroke dan tak pernah pulih kembali. Barangkali hanya Metropolitan Kentjana yang utangnya sangat kecil yang kondisinya paling mendingan.

Melihat semua perusahaan yang dia bangun dengan susah payah dalam kondisi sekarat dan harus memecat ribuan karyawannya, Ciputra yang biasanya keras dan disiplin, sangat terpukul.

"Di kamar tidur, di meja makan, bahkan saat saya mandi dengan air shower menyiram tubuh, saya berlinang air mata....Saya menangis tanpa saya sadari," kata Ciputra.

Makan tak enak, tidur tak pernah nyenyak, membuat berat badannya menyusut.

Hampir setiap hari, Ciputra bersama anak-anak dan para menantunya, juga manajemen grup Ciputra, mesti menghadapi tekanan dan kemarahan dari pihak bank yang menghendaki utangnya dibayar, juga para kontraktor, mandor, dan pemasok yang meminta tagihannya segera dilunasi. Sementara pendapatan terus menyusut, bahkan kering sama sekali.

Bagaimana Grup Ciputra bisa bangkit lagi?

Lanjut ke halaman berikutnya >>>
Saat krisis ekonomi tahun 1998, Edmund Sutisna, kala itu Direktur Pembangunan Jaya, menuturkan, Ciputra berbagi tugas dengan manajemen Pembangunan Jaya dan Metropolitan. Penyelesaian masalah di Pembangunan Jaya diserahkan kepada direksi, demikian pula di Metropolitan.

"Pak Ci konsentrasi menyelesaikan masalah di Grup Ciputra. Dia memberi kepercayaan kepada kami di Grup Jaya untuk menyelesaikan sendiri. Tapi kalau ada masalah kami konsultasikan dengan beliau," kata Edmund kepada detikcom, beberapa waktu lalu.

Meski sangat sulit dan melelahkan, menguras emosi dan air mata, dengan tertatih-tatih, tiga kelompok usaha Ciputra: Pembangunan Jaya, Metropolitan, dan Grup Ciputra, perlahan keluar dari krisis. Banyak hal mesti dikorbankan.

Untuk menutup utang, Ciputra melepas saham di sejumlah perusahaan, di antaranya di Bumi Serpong Damai (BSD). Beberapa unit usaha seperti Bank Ciputra terpaksa ditutup untuk selamanya.

Di tengah badai krisis, Ciputra tetap mati-matian mempertahankan reputasi yang dibangunnya bertahun-tahun.

"Cara Pak Ci menghadapi badai adalah tidak dengan lari, tapi menghadapinya," kata Antonius Tanan, Direktur Senior Grup Ciputra, kepada detikcom. Pelbagai cara dan skema ditawarkan Ciputra dan timnya kepada para kreditur untuk menyelesaikan utang.

"Salah satu prinsip yang beliau ajarkan saat itu adalah bila kita tahu bahwa kita akan kesulitan bayar utang, maka jangan tunggu sampai dicari dan ditagih, tapi temui lebih dulu kreditur dan beri tahu kondisinya lalu cari jalan keluar bersama."

Krisis ekonomi yang nyaris menyapu bersih usahanya tak hanya membuat Ciputra lebih dekat dengan agama, tapi juga memberikan banyak pelajaran kepada dia.

"Orang-orang mengatakan setelah krisis Ciputra menjadi lebih penyabar. Itu benar," kata Ciputra. Krisis juga membuat Ciputra dan anak-anaknya sangat berhati-hati dalam berutang.

Badai itu sudah bertahun-tahun lalu berlalu. Semua usaha Ciputra sudah bangkit kembali, bahkan tumbuh makin besar. Menurut penaksiran majalah Forbes, Rabu (27/11/2019), Ciputra dan keluarganya punya harta senilai US$ 1,3 miliar atau Rp 18,2 triliun. Ciputra yang hari ini meninggal dunia pernah masuk urutan orang terkaya ke-27 di antara orang-orang paling kaya di negeri ini tahun 2018.

Sebelum meninggal, Ciputra lebih banyak menghabiskan pikiran dan tenaga di sejumlah yayasan sosial dan pendidikan. Di puluhan perusahaan yang dulu dia dirikan, Ciputra lebih berperan sebagai mentor bagi anak, menantu, cucu dan manajemen.

Di Grup Ciputra, generasi ketiga keluarga Ciputra sudah mulai bergabung dalam manajemen. Cipta Ciputra Harun, 25 tahun, salah satunya.

Saat perusahaan keluarganya nyaris bangkrut 20 tahun lalu, Cipta masih kecil. Kepada detikcom, Cipta menuturkan, generasi ketiga keluarga Ciputra yang hendak bergabung dengan Grup Ciputra mesti meniti karir dari bawah. Tak ada cerita cucu Ciputra yang baru lulus kuliah dan langsung jadi direktur.

Tak ada keistimewaan bagi cucu Ciputra sekalipun.

"Digaji pun dengan jumlah yang sama dengan staf lain. Kalau cucunya merasa keberatan pasti mereka nggak bergabung. Karena kami mau Grup Ciputra ini terus berlanjut dan last forever," kata putra pasangan Harun Hajadi-Junita Ciputra ini. Menurut dia, ada banyak hal yang dia pelajari dari kakeknya.

Misalnya dalam soal kegigihan. Kakeknya, kata Cipta, memang pintar, tapi bukan yang paling pintar. "Dia orang yang punya determinasi tinggi. Kalau ada satu masalah dia bakal telepon kamu sepuluh kali setiap hari untuk memastikan masalah itu terpecahkan… Ciputra itu sangat gigih dan tekun, nggak pernah mau kalah," kata Cipta.

Meski kaya raya dan bisa membeli apapun yang dia mau, menurut Cipta, kakeknya relatif sederhana. Sepatu yang biasa dipakai kemana-mana hanya sepasang.

"Dia nggak pernah mikirin sepatunya apa, bajunya apa. Sepatu dia cuma satu, New Balance warna hitam, entah tahun berapa belinya. Nggak ganti-ganti," ujar Cipta.

Mobil yang dia naiki juga hanya Toyota Alphard seri lama. Bagi Ciputra, merek baju, mobil atau sepatu, sepertinya sama sekali bukan hal penting.

"Bukan soal dia mau sederhana, tapi dia memang nggak kepikiran."

Berita ini bisa dilihat juga di detikX melalui tautan berikut ini: Ciputra pun Pernah Hampir Bangkrut

Hide Ads