Saat krisis ekonomi tahun 1998, Edmund Sutisna, kala itu Direktur Pembangunan Jaya, menuturkan, Ciputra berbagi tugas dengan manajemen Pembangunan Jaya dan Metropolitan. Penyelesaian masalah di Pembangunan Jaya diserahkan kepada direksi, demikian pula di Metropolitan.
"Pak Ci konsentrasi menyelesaikan masalah di Grup Ciputra. Dia memberi kepercayaan kepada kami di Grup Jaya untuk menyelesaikan sendiri. Tapi kalau ada masalah kami konsultasikan dengan beliau," kata Edmund kepada detikcom, beberapa waktu lalu.
Meski sangat sulit dan melelahkan, menguras emosi dan air mata, dengan tertatih-tatih, tiga kelompok usaha Ciputra: Pembangunan Jaya, Metropolitan, dan Grup Ciputra, perlahan keluar dari krisis. Banyak hal mesti dikorbankan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah badai krisis, Ciputra tetap mati-matian mempertahankan reputasi yang dibangunnya bertahun-tahun.
"Cara Pak Ci menghadapi badai adalah tidak dengan lari, tapi menghadapinya," kata Antonius Tanan, Direktur Senior Grup Ciputra, kepada detikcom. Pelbagai cara dan skema ditawarkan Ciputra dan timnya kepada para kreditur untuk menyelesaikan utang.
"Salah satu prinsip yang beliau ajarkan saat itu adalah bila kita tahu bahwa kita akan kesulitan bayar utang, maka jangan tunggu sampai dicari dan ditagih, tapi temui lebih dulu kreditur dan beri tahu kondisinya lalu cari jalan keluar bersama."
Krisis ekonomi yang nyaris menyapu bersih usahanya tak hanya membuat Ciputra lebih dekat dengan agama, tapi juga memberikan banyak pelajaran kepada dia.
"Orang-orang mengatakan setelah krisis Ciputra menjadi lebih penyabar. Itu benar," kata Ciputra. Krisis juga membuat Ciputra dan anak-anaknya sangat berhati-hati dalam berutang.
Badai itu sudah bertahun-tahun lalu berlalu. Semua usaha Ciputra sudah bangkit kembali, bahkan tumbuh makin besar. Menurut penaksiran majalah Forbes, Rabu (27/11/2019), Ciputra dan keluarganya punya harta senilai US$ 1,3 miliar atau Rp 18,2 triliun. Ciputra yang hari ini meninggal dunia pernah masuk urutan orang terkaya ke-27 di antara orang-orang paling kaya di negeri ini tahun 2018.
Sebelum meninggal, Ciputra lebih banyak menghabiskan pikiran dan tenaga di sejumlah yayasan sosial dan pendidikan. Di puluhan perusahaan yang dulu dia dirikan, Ciputra lebih berperan sebagai mentor bagi anak, menantu, cucu dan manajemen.
Di Grup Ciputra, generasi ketiga keluarga Ciputra sudah mulai bergabung dalam manajemen. Cipta Ciputra Harun, 25 tahun, salah satunya.
Saat perusahaan keluarganya nyaris bangkrut 20 tahun lalu, Cipta masih kecil. Kepada detikcom, Cipta menuturkan, generasi ketiga keluarga Ciputra yang hendak bergabung dengan Grup Ciputra mesti meniti karir dari bawah. Tak ada cerita cucu Ciputra yang baru lulus kuliah dan langsung jadi direktur.
Tak ada keistimewaan bagi cucu Ciputra sekalipun.
"Digaji pun dengan jumlah yang sama dengan staf lain. Kalau cucunya merasa keberatan pasti mereka nggak bergabung. Karena kami mau Grup Ciputra ini terus berlanjut dan last forever," kata putra pasangan Harun Hajadi-Junita Ciputra ini. Menurut dia, ada banyak hal yang dia pelajari dari kakeknya.
Misalnya dalam soal kegigihan. Kakeknya, kata Cipta, memang pintar, tapi bukan yang paling pintar. "Dia orang yang punya determinasi tinggi. Kalau ada satu masalah dia bakal telepon kamu sepuluh kali setiap hari untuk memastikan masalah itu terpecahkan… Ciputra itu sangat gigih dan tekun, nggak pernah mau kalah," kata Cipta.
Meski kaya raya dan bisa membeli apapun yang dia mau, menurut Cipta, kakeknya relatif sederhana. Sepatu yang biasa dipakai kemana-mana hanya sepasang.
"Dia nggak pernah mikirin sepatunya apa, bajunya apa. Sepatu dia cuma satu, New Balance warna hitam, entah tahun berapa belinya. Nggak ganti-ganti," ujar Cipta.
Mobil yang dia naiki juga hanya Toyota Alphard seri lama. Bagi Ciputra, merek baju, mobil atau sepatu, sepertinya sama sekali bukan hal penting.
"Bukan soal dia mau sederhana, tapi dia memang nggak kepikiran."
Berita ini bisa dilihat juga di detikX melalui tautan berikut ini: Ciputra pun Pernah Hampir Bangkrut
(sap/ang)