"Kebutuhan minyak kayu putih di Indonesia cukup tinggi, tapi mungkin hanya 10 persen yang bisa dipenuhi oleh kayu putih yang ada saat ini. Sisanya terpaksa dicampur bahan-bahan dari impor," ujar Bambang Brodjonegoro disela-sela penanaman bibit unggul kayu putih di petak 95, Dusun Kepek I, Desa Banyusoco, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Rabu (18/12/2019).
"Meskipun yang diimpor jenis lain, tapi yang dianggap kira-kira punya manfaat atau khasiat yang sama dengan minyak kayu putih," imbuh Bambang.
"Nantinya kita memang akan launching atau meresmikan pemakaian benih unggul kayu putih yang kita harapkan rendemen tinggi, produktivitas tinggi, sehingga bisa mengurangi kebutuhan akan impor," katanya
"Saya kira itu pesan yang pentingnya, dan intinya juga mendorong para peneliti di LHK dan UGM juga untuk terus mencari subtitusi, atau jenis minyak, atau material yang bisa mengganti materi atau minyak yang selama ini masih harus didatangkan dari luar Indonesia," sambung Bambang.
Terlepas dari hal tersebut, Bambang juga menilai skema inti-plasma yang diterapkan dalam pengembangan bibit unggul kayu putih. Mengingat petani mendapat dukungan bibit unggul, supervisi terkait cara merawat, memanen kayu putih sehingga hasil panen memiliki kualitas dan harga terbaik.
"Model pengembangan ini inti-plasma, yaitu agar petani yang mendapat efek langsung, dan intinya sudah ada orang yang mau beli hasil panen mereka. Terus kebetulan untuk alat (penyulingan minyak kayu putih) ada dari Kementerian ristek, sehingga dari daun itu dirubah jadi minyak, dan minyaknya dibeli pihak usaha yang kemudian menjualnya dalam bentuk kemasan," katanya.
"Jadi ada 2 hal di sini, yakni inovasi benih unggul dan model inti plasma yang ujungnya untuk memperbaiki kesejahteraan petani di sini," imbuh Bambang.