Tekan Impor, RI Genjot Produksi Benih Unggul Kayu Putih

Tekan Impor, RI Genjot Produksi Benih Unggul Kayu Putih

Pradito Rida Pertana - detikFinance
Rabu, 18 Des 2019 20:50 WIB
Menristek Bambang Brodjonegoro cek inovasi kayu putih di Gunungkidul/Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom
Gunungkidul - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) RI, Bambang Brodjonegoro meninjau inovasi Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH) Kementerian LHK pada tanaman kayu putih di Gunungkidul. Menurutnya, inovasi bibit unggul kayu putih ini dapat menekan impor bahan pembuat minyak kayu putih.

"Kebutuhan minyak kayu putih di Indonesia cukup tinggi, tapi mungkin hanya 10 persen yang bisa dipenuhi oleh kayu putih yang ada saat ini. Sisanya terpaksa dicampur bahan-bahan dari impor," ujar Bambang Brodjonegoro disela-sela penanaman bibit unggul kayu putih di petak 95, Dusun Kepek I, Desa Banyusoco, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Rabu (18/12/2019).

"Meskipun yang diimpor jenis lain, tapi yang dianggap kira-kira punya manfaat atau khasiat yang sama dengan minyak kayu putih," imbuh Bambang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena itu, Bambang menilai inovasi dari BBPPBPTH Kementerian LHK ini dapat menyunat kegiatan impor akan bahan baku pembuatan minyak kayu putih di Indonesia. Mengingat inovasi itu mengutamakan benih unggul untuk meningkatkan produktivitas minyak kayu putih.

"Nantinya kita memang akan launching atau meresmikan pemakaian benih unggul kayu putih yang kita harapkan rendemen tinggi, produktivitas tinggi, sehingga bisa mengurangi kebutuhan akan impor," katanya

"Saya kira itu pesan yang pentingnya, dan intinya juga mendorong para peneliti di LHK dan UGM juga untuk terus mencari subtitusi, atau jenis minyak, atau material yang bisa mengganti materi atau minyak yang selama ini masih harus didatangkan dari luar Indonesia," sambung Bambang.


Terlepas dari hal tersebut, Bambang juga menilai skema inti-plasma yang diterapkan dalam pengembangan bibit unggul kayu putih. Mengingat petani mendapat dukungan bibit unggul, supervisi terkait cara merawat, memanen kayu putih sehingga hasil panen memiliki kualitas dan harga terbaik.

"Model pengembangan ini inti-plasma, yaitu agar petani yang mendapat efek langsung, dan intinya sudah ada orang yang mau beli hasil panen mereka. Terus kebetulan untuk alat (penyulingan minyak kayu putih) ada dari Kementerian ristek, sehingga dari daun itu dirubah jadi minyak, dan minyaknya dibeli pihak usaha yang kemudian menjualnya dalam bentuk kemasan," katanya.

"Jadi ada 2 hal di sini, yakni inovasi benih unggul dan model inti plasma yang ujungnya untuk memperbaiki kesejahteraan petani di sini," imbuh Bambang.



Sementara itu, peneliti dari BBPPBPTH Kementerian LHK, Anto Rimbawanto mengatakan, pertimbangan utama dalam riset pemuliaan kayu putih ini adalah karena masih sangat rendahnya produktivitas minyak kayu putih nasional. Di mana saat ini hanya mampu memasok 15% dari kebutuhan bahan baku industri obat-obatan dan farmasi dalam negeri.

"Akibatnya, kekurangan pasokan sebesar 85% dipenuhi dari impor minyak substitusi berupa minyak ekaliptus. Dan perlu kami sampaikan, bahwa kebutuhan bahan baku minyak kayu putih untuk industri obat kemasan dalam negeri tercatat mencapai lebih dari 3500 ton per tahun," katanya.

Memperhatikan kondisi ini, BBPPBPTH melakukan riset pemuliaan tanaman kayu putih secara intensif dan berkelanjutan untuk peningkatan rendemen minyak dan kandungan senyawa 1,8 cineole. Mengingat 2 karakter ini menjadi komponen utama dalam peningkatan produktivitas tanaman kayuputih.

"Kelebihan benih unggul ini ada pada rendemen, rendemen itu adalah berapa daun yang dimasak dan berapa minyak yang dihasilkan. Kalau bukan benih unggul itu rendemen hanya 0,6 sampai 0,8 persen, jadi kalau hanya masak 100 kg (daun kayu putih), dia hanya dapat 600-800 cc. Nhah, dengan benih ini bisa dapat 1,5 kilogram jadi hampir 2 kali lipat," ujarnya.

"Maka, diharapkan dalam kurun waktu lima tahun dapat dicapai kapasitas produksi minyak kayu putih sebesar 2000 ton per tahun atau pengurangan impor minyak substitusi sebesar 66 persen. Dan dalam kurun waktu sepuluh tahun akan tercapai kapasitas produksi minyak kayu putih nasional mencapai 3000 ton per tahun," imbuh Anto.


Menurut Anto, untuk pengembangan benih unggul kayu putih di Gunungkidul sendiri baru mencakup 10 hektare. Di mana 10 hektare itu terdiri dari 5 hektare lahan di petak 93 dan 5 hektare lahan di petak 95.

"Untuk 1 hektare kira-kira ada 5 ribu pohon, dikali 3 kg jadi ada 15 ton, dan kali 125 bisa ada 180 kilogram minyak (kayu putih). Kalau dirupiahkan bisa sekitar Rp 48 juta," katanya.

Namun, ia menyebut saat ini petani belum bisa memanen tanaman kayu putih yang berasal dari bibit unggul. Mengingat untuk memanen tanaman kayu putih membutuhkan waktu perawatan maksimal 24 bulan.

"Petani hanya perlu merawat sampai umur 24 bulan, dia belum bisa panen daunnya, nanti setelah 24 bulan baru bisa memanen daunnya. Dari situlah pohonnya nanti akan merawat petaninya dengan uang," katanya.

Hide Ads