Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menargetkan Jakarta tidak lagi masuk ke dalam 10 kota termacet di dunia. Anies menyebut akan ada transportasi yang lebih baik untuk mendukung upaya tersebut.
"Jakarta kota termacet di dunia nomor 4 di tahun 2017. Dalam setahun turun jadi nomor 7 di dunia. Kita rencana keluar dari 10 besar, kita tidak lagi jadi kota termacet," kata Anies saat memberi sambutan di Kementerian BUMN, Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).
Tak heran bila Anies ingin Indonesia bebas dari status kota termacet. Pasalnya momok tersebut menyebabkan kerugian yang amat besar. Tak tanggung-tanggung, sebelumnya Presiden Joko Widodo pernah mengatakan kerugian akibat kemacetan di Jakarta, termasuk kawasan penyangganya mencapai Rp 65 triliun per tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya hanya membayangkan hitungan Bappenas yang saya terima setiap tahun kita kehilangan Rp 65 triliun di Jabodetabek gara-gara kemacetan. Rp 65 triliun per tahun," kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Jokowi menjelaskan kerugian tersebut berdasarkan hasil studi Kementerian PPN/Bappenas. Namun berdasarkan laporan yang pernah diutarakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kerugian yang diakibatkan kemacetan lebih besar dari angka di atas, yaitu mencapai Rp 100 triliun.
"Justru kemarin ketika rapat sudah mulai, tertutup, teman-teman media sudah keluar, angka itu dikoreksi oleh Pak Wakil Presiden dan kami juga angkanya sama, yaitu Rp 100 triliun, bukan Rp 65 triliun lagi, lebih besar," ucap Anies kepada wartawan di Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Jokowi pun tak menampik angka kerugian akibat kemacetan Jakarta versi Anies yang mencapai Rp 100 triliun.
"Studi Bappenas ditemukan angka kerugian Rp 65 triliun karena kemacetan di Jabodetabek setiap tahunnya, dan bahkan Pak Wapres, Pak Gubernur menyampaikan angka sampai Rp 100 triliun. Ini jumlah yang besar sehingga perlu diselesaikan," kata Jokowi saat Ratas kebijakan pengelolaan Transportasi Jabodetabek di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Kenapa kemacetan di Jakarta bisa memicu kerugian hingga Rp 100 triliun? Langsung klik halaman selanjutnya
Menurut Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus, kerugian yang diakibatkan kemacetan meliputi kerugian yang ditanggung dunia usaha, produktivitas tenaga kerja, hingga konsumsi BBM kendaraan.
"Ya yang jelas karena keterlambatan atau kemacetan tadi kan membuat biaya logistik jadi meningkat, misalnya deliverybarang jadi membutuhkan waktu yang lama, sehingga yang misalnya tadinya dia dalam satu hari bisa kirim 5 kali barang, karena macet jadi cuma 3 kali atau 4 kali. Karena kemacetan itu membuat semuanya jadi tertunda," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (10/1/2020).
Kemacetan di jalan pun membuat konsumsi BBM kendaraan menjadi boros, ditambah perawatan kendaraan menjadi lebih besar imbas sering kena macet.
"Salah satunya jadi biaya-biaya transportasi kan meliputi biaya bahan bakarnya, kemudian juga biaya perawatan kendaraannya. Nah ini jadi meningkatkan biayanya semua," ujarnya.
Kemacetan pun membuat orang-orang yang bekerja menjadi terlalu lama di jalan saat berangkat dari rumah ke tempat kerja. Itu bakal mengganggu produktivitas mereka karena kehabisan banyak waktu hingga tenaga.
"Tentu mempengaruhi fisik ya kemacetan itu jadi melelahkan, jadi produktivitas juga agak berkurang gitu. Ini yang menyebabkan aturan bisa optimal jadi nggak optimal. Jadi ada kehilangan keuntungan yang harusnya didapat," tambahnya.
Kalau macet sudah menyebabkan kerugian separah itu, lalu Anies harus berbuat apa? Klik halaman selanjutnya
Pemprov DKI Jakarta perlu memperbanyak transportasi umum di ibu kota agar tidak terus-menerus menimbulkan kerugian mencapai Rp 100 triliun per tahun imbas kemacetan. Penyediaan layanan transportasi umum ini harus baik agar orang-orang mau menggunakannya.
"Ya tentunya kan kita sudah tahu ya semua paparan pemerintah solusi mengatasi kemacetan seperti apa. Tinggal implementasinya harus berjalan efektif. Ya kayak diperbanyak transportasi massal yang aman dan nyaman," kata Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus saat dihubungi detikcom, Jumat (10/1/2020).
Jadi selain membatasi kendaraan pribadi dengan kebijakan yang dikeluarkan, pemerintah pun harus memastikan keandalan transportasi umum di Jakarta.
"Jadi (kendaraan pribadi) dibatasi dan dikendalikan tapi harus dikasih pilihan masyarakat ini supaya dia juga bisa menggunakan transportasi yang aman dan nyaman yaitu transportasi massal," ujarnya.
Sementara saat ini menurutnya transportasi umum yang ada belum begitu memadai sehingga orang masih ragu untuk meninggalkan kendaraan pribadinya.
"Kan transportasi massalnya kan, masih terbatas, masih sedikit, MRT cuma satu jalur, busway juga banyak yang berhimpitan dengan jalur kendaraan pribadi kan, kereta sudah cukup membantu cuma mungkin ya kan tahu sendiri kapasitasnya kalau jam-jam umum itu gimana (desak-desakan) iya," tambahnya.
Simak Video "Video: Menembus Kemacetan Jakarta Jelang Long Weekend"
[Gambas:Video 20detik]