Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan hal tersebut saat rapat kerja dengan Komite 4 DPD RI di Kompleks DPR RI, Jakarta, kemarin Selasa (14/1/2020).
Mulanya dia menjelaskan cara Kementerian Keuangan mengungkap 'desa hantu' yang menikmati dana desa. Dia menjelaskan bahwa pihaknya berpaku pada data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait jumlah desa, dan Kementerian Sosial (Kemensos) terkait jumlah penduduk miskin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya juga merujuk data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengenai indeks desa membangun, lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai luas wilayah desa.
"Jadi ini data dasar yang kita gunakan. Kami tidak membuat data. Kami menggunakan data dari instansi yang memang memiliki tupoksi dalam menghasilkan data-data tersebut," ujarnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun mendapatkan aduan dari masyarakat mengenai desa yang diindikasikan fiktif.
"Kami sering sekali mendapatkan feedback di medsos 'bu ada dana desa dipakainya nggak benar atau kepala desanya seperti ini'. Jadi kami juga terus meningkatkan kewaspadaan dari sisi dana desa," jelasnya.
Berikut ini jumlah desa fiktif yang tak lagi menikmati dana desa.
Sri Mulyani mengatakan ada 56 desa yang tak lagi mendapatkan dana desa. Pembekuan transfer dana desa tersebut dimulai sejak penyaluran tahap ketiga 2019.
Dirinya menjelaskan bahwa pembekuan penyaluran dana desa ke 56 desa berlaku hingga adanya bukti bahwa desa-desa tersebut bukan fiktif. Artinya memang berhak memperoleh kucuran dana tersebut.
"Penyaluran dana desa tahap ketiga tahun 2019 untuk keseluruhan 56 dihentikan sampai kami mendapatkan kejelasan status desa tersebut baik secara hukum maupun secara substansi fisiknya memang ada," jelasnya.
Setelah pihaknya mengungkapkan adanya desa fiktif, banyak aduan yang masuk ke instansi yang mengelola keuangan negara tersebut.
"Memang begitu kami menyampaikan desa fiktif memang jadi cerita yang banyak sekali di media yang bagus, karena banyak masyarakat yang kemudian banyak mengatakan 'bu ada juga di daerah sini, daerah sini'," ungkapnya.
Dirinya pun meminta agar kementerian terkait yang sudah dia sebutkan di atas untuk menyempurnakan data-data pendukung untuk memastikan dana desa tersalurkan dengan tepat sasaran.
"Kami akan terus meminta kepada Kemendagri, Kemendes untuk terus memperbaiki databasenya. Kami bekerja berdasarkan seluruh bukti, baik yang secara legal maupun secara fisik memang ada desa tersebut," lanjutnya.
Bagaimana kronologi terungkapnya 56 desa yang terindikasi fiktif?
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Kabupaten Konawe menetapkan perda untuk pembentukan 56 desa dalam bentuk Perda Nomor 7 Tahun 2011 sebagai perubahan atas Perda Konawe Nomor 2 Tahun 2011. Artinya ada tambahan 56 desa baru dibuat dalam perda tersebut.
"Terus 56 desa tersebut mendapatkan nomor registrasi desa dari Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2016. Jangan lupa, Perdanya 2011 dapat registrasinya 2016," ujarnya.
Akhirnya pada 2017, 56 desa tersebut mendapatkan kucuran dana desa dari pemerintah pusat. Namun pada pencairan dana desa tahap ketiga 2018, empat desa dihentikan dari pemberian dana desa karena mulai terungkap adanya permasalahan.
"Penyaluran dana desa sejak tahap ketiga tahun 2018 untuk 4 dari 56 desa tersebut kemudian dihentikan karena dianggap ada permasalahan di bidang administrasi dan dilakukan penyidikan oleh polda Sulawesi Tenggara," jelasnya.
Keempat desa tersebut adalah desa Napoha, desa Arumbu Utama, desa Wiau dan desa Lorehama.
Dari penelitian gabungan diketahui bahwa 56 desa yang tercantum tentang pembentukan dan pendefinitifan desa secara yuridis mengalami cacat hukum karena perda tersebut tidak melalui mekanisme tahapan di DPRD, dan register perda tersebut adalah perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
"Jadi memang tujuannya ya memang begitu. Kalau memang yang baik-baik saja kan memang ini perda sendiri. (Sedangkan 56 desa) ini ditempelkan dalam perda tentang pertanggungjawaban," tambahnya. (toy/dna)