Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi defisit pada neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019. Defisit ini terjadi karena adanya pengaruh pergerakan harga dan masih tingginya impor dibanding ekspor.
Neraca dagang Indonesia sepanjang 2019 tercatat defisit US$ 3,2 miliar. Angka ini berasal dari ekspor setahun penuh yang sebesar US$ 167,5 miliar dan impornya sebesar US$ 170,72 miliar.
Demikian dilaporkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (15/1/2020). Defisit ini memang terbilang lebih kecil dibanding tekor neraca dagang 2018, namun terhitung masih cukup tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Defisit 2019 lebih kecil dibanding defisit 2018," kata Suhariyanto.
Defisit neraca dagang berhasil ditekan lewat penurunan impor yang cukup dalam. Meski demikian, dibandingkan secara tahunan ekspor Indonesia sepanjang 2019 masih lebih kecil dibandingkan 2018. Padahal impor berhasil ditekan dari US$ 188,7 miliar menjadi US$ 170,7 miliar.
Amerika Serikat, India, dan Belanja menjadi tiga negara yang paling defisit sepanjang 2019 neraca dagangnya terhadap Indonesia. Artinya Indonesia lebih banyak ekspor dibandingkan impor terhadap negara-negara tersebut.
Sementara negara-negara yang neraca dagangnya paling surplus terhadap Indonesia di 2019 adalah Australia, Thailand, dan China. Indonesia lebih banyak impornya dibanding ekspor terhadap ketiga negara tersebut.
Ekspor Turun TajamBPS mencatat ekspor Indonesia sepanjang 2019 sebesar US$ 167,53 miliar. Angka ini tercatat jauh lebih rendah dibandingkan kinerja ekspor tahun sebelumnya yang mencapai US$ 180,01 miliar.
"Ada penurunan yang lumayan tajam, turun 6,94% dari tahun sebelumnya," kata Kepala BPS Suhariyanto.
Sejumlah sektor mengalami penurunan pada ekspor 2019. Ekspor migas 2019 turun 27% dibandingkan 2018, ekspor industri pengolahan turun 2,7%, dan ekspor tambang dan lainnya turun 15%. Hanya ekspor pertanian yang naik 5,3% dibandingkan 2018.
"Kita harap kontribusi dari sektor pertanian akan meningkat dan bisa dorong ekspor kita," kata Suhariyanto.
Pangsa ekspor non migas terbesar Indonesia adalah China, Amerika Serikat, dan Jepang. Kemudian disusul India, Singapura, dan Malaysia.
"Pangsa tidak berubah, masih ke China, AS, dan Jepang. Ke Asean 23% sharenya dan Uni Eropa 9,24%," kata Suhariyanto.
Di Desember, ekspor migas Indonesia tercatat turun 31,9% dibandingkan setahun sebelumnya. Sementara ekspor non migas naik 5,7%.
Sedangkan dalam setahun penuh, total ekspor non migas Indonesia di 2019 turun 4,8% dari US$ 162,8 miliar ke US$ 154,99 miliar.
KemiskinanSementara itu angka kemiskinan pada September 2019 tercatat sebesar 9,22%. Angka ini menurun 0,19% dibandingkan periode Maret 2019.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan persentase ini setara dengan 24,79 juta orang.
"Jadi September 2019 ini persentase kemiskinan kalau dibanding Maret 2019 ada penurunan sekitar 358,9 ribu," kata Suhariyanto.
Berdasarkan tempat tinggal, pada periode Maret 2019 - September 2019, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebesar 137 orang, sedangkan di daerah perdesaan turun sebesar 221,8 ribu orang.
Persentase kemiskinan di perkotaan turun dari 6,69% menjadi 6,56%. Kemudian di perdesaan turun dari 12,85% menjadi 12,6%.
Suhariyanto mengungkapkan secara umum periode 2006-September 2019 tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase, perkecualian pada September 2013 dan Maret 2015.
Dia menjelaskan kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin para periode tersebut dipicu oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak.
Suhariyanto menjelaskan untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
"Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan dan bukan makanan)," ujarnya.