Sekalipun Kwarcab Pramuka Yogyakarta langsung meminta maaf hari itu juga, namun peristiwa itu menunjukkan adanya benih-benih diskriminasi agama di dalam tubuh Pramuka Indonesia. Hal ini dianggap sebuah bahaya laten.
Jika dibiarkan, intoleransi ini bisa membahayakan ekonomi dan investasi di Indonesia. Memasuki Industri 4.0 hal ini sudah tidak bisa dibiarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Horas menyayangkan insiden itu, apa lagi yel-yel berbau SARA itu diajarkan seorang pembina Pramuka. Pihak berwenang menindak oknum pembina Pramuka itu dan mengambil langkah preventif agar peristiwa serupa tak terjadi lagi di kemudian hari.
"Tidak ada orang kafir di Indonesia, semua punya agama kok, semua percaya Tuhan. Jangan lagi ada kalimat-kalimat provokatif seperti itu di ruang publik. Sayang ada oknum pembina Pramuka yang berbuat sepicik itu. Pramuka harus bersih dari para pelaku diskriminasi dan intoleransi antar umat beragama," tegas Horas.
Horas mengimbau semua elemen bangsa segera menghentikan praktik diskriminatif dan intoleransi. Di era Revolusi Industri 4.0 sekarang, kata dia, banyak cita-cita bangsa yang harus diwujudkan, jangan sampai warga Indonesia enggan menerima perbedaan.
"Jangan kita jerumuskan generasi muda kita dengan doktrin diskriminasi dan intoleransi. Itu sama saja dengan membuat suram masa depan mereka karena akan membentuk pribadi generasi muda yang tidak mau membuka diri atau diskriminatif, tidak mau belajar, hingga pasti akan terus ketinggalan kereta peradaban," kata Horas.
Direktur Eksekutif APBN ini juga mengusulkan Menteri Pendidikan & Kebudayaan Nadiem Makarim agar bertindak cepat merespons situasi ini. Kemendikbud dapat bekerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam pendidikan dan pembinaan di sekolah dengan fokus pembumian Pancasila dan habituasinya sehari-hari.
"Kami mendorong Menteri Nadiem untuk membenahi situasi ini. Tolong benahi pendidikan moral Pancasila di sekolah-sekolah kita," ujarnya.
(ang/ang)