Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, jadi driver ojol hanya menyerap tenaga kerja untuk seseorang dengan skill yang rendah. Seperti diketahui, semua orang berpeluang jadi driver ojol yang penting memiliki kendaraan motor, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
"Driver (ojol) yang jumlahnya jutaan itu masuk dalam klasifikasi sektor yang informal, kemudian memang sektor yang low skill labour atau tenaga kerja dengan skill yang rendah," kata Bhima kepada detikcom, Jumat (31/1/2020).
Selain itu, jenjang karir menjadi driver ojol juga dinilai tidak akan meningkat. Hal itu membuatnya miris jika melihat jumlah driver ojol terus meningkat.
"Jadi kalau ojol ketika pakai jaket warna hijau apakah dia Grab atau Gojek itu tidak memiliki jenjang karir yang jelas. Selamanya dia akan terus begitu. Itu yang miris kita lihatnya," ucapnya.
Di sisi lain, Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah justru menilai positif dengan kemunculan aplikator ojol. Pasalnya, adanya aplikator ojol mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang mayoritas kualitasnya memang rendah.
"Ojol itu memang menyerap tenaga kerja kita yang memang tanda kutip mayoritas tenaga kerjanya rendah. Kalau tanpa ojol mereka mau kemana? Tenaga kerja kita kan didominasi oleh mereka yang skill-nya memang rendah. Mayoritas itu lulusan SD, SMP, dan itu kalau tidak ada ojol mereka tidak terserap," katanya.
(dna/dna)