Sri Mulyani menerangkan, apa yang terjadi saat ini dengan krisis 2008 sangat berbeda. Krisis 2008 berawal dari sektor keuangan.
Krisis saat itu diawali pada 2007, saat persediaan rumah di AS untuk masyarakat menengah ke bawah melonjak. Namun saat itu banyak dari nasabah perumahan kelas bawah yang tak mampu membayar utangnya.
Alhasil institusi keuangan di AS banyak yang tumbang. Pengaruhnya ke banyak negara. Indonesia terkena imbasnya. Rupiah jatuh ke level Rp 8.000 hingga ke level Rp 12.650. Depresiasi rupiah mencapai 34,86%.
"Kalau 2008 kan contagion-nya (penularan) berasal dari lembaga keuangan terutama dari perbankan, capital market karena ada sentimen tadi yang kemudian pengaruhi stabilitas sektor keuangan. Kalau sekarang mungkin langsung hit pada sektor riil-nya," katanya.
Sementara untuk serangan wabah Covid-19 langsung menghantam sektor riil. Masyarakat tak berani melakukan kegiatan, sehingga langsung mempengaruhi sektor riil seperti manufaktur dan berujung pada terganggunya investasi.
Oleh karena itu, Sri Mulyani selaku bendahara negara mengaku siap memberikan stimulus fiskal untuk menyelamatkan sektor riil. Seperti pada krisis 2008 yang stimulus fiskalnya bisa mencapai sekitar Rp 70 triliun.
"Saya bilang saya sangat terbuka dalam hal ini. Makanya kan tadi respons pertama fokusnya pertama yang langsung berhubungan dengan tourism. Seperti hotel, restoran, airlines," katanya.
"Tapi sekarang kita lihatnya lebih luas kepada sektor manufaktur. Jadi ini bentuk pemihakan, bantuan, insentif harus dimodifikasi berdasarkan kebutuhan. Pada dasarnya harus kita lihat betul dampaknya sekarang kepada masyarakat maupun dunia usaha," tutupnya.
Baca juga: Kapan Waktu yang Baik untuk Gunakan Masker? |
(das/ang)