Setidaknya demikian menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Kata Bhima, di saat-saat seperti ini para pelaku usaha biasanya akan melakukan penyesuaian harga jual hingga 30% dari harga normalnya.
"Beberapa perusahaan sudah mulai melakukan penyesuaian harga jual antara 10-15%, tergantung pada komposisi bahan baku impornya. Ini terjadi pada saat rupiah menyentuh Rp 15.000 apalagi kalau tembus di atas Rp 16.000 tentunya bisa terjadi penyesuaian harga di atas 20-30%," ujar Bhima kepada detikcom, Kamis (19/3/2020).
Baca juga: Waduh! Bank Jual Dolar AS Sampai Rp 16.000 |
Akan tetapi, penyesuaian harga yang tidak diiringi dengan peningkatan daya beli masyarakat justru berbahaya bagi para pelaku usaha itu sendiri bahkan bagi perekonomian domestik secara keseluruhan. Bila kondisi ini tak mampu dikendalikan oleh pemerintah berakibat pada peningkatan inflasi pada bulan Ramadhan hingga Lebaran 2020 mendatang.
"Permasalahannya, penyesuaian harga jual bila tidak diiringi kenaikan daya beli akan merugikan pengusaha, sehingga mau ga mau untuk sektor makanan-minuman dan tekstil akan menaikkan harganya sebelum ramadhan, artinya nanti saat ramadhan terjadi inflasi yang cukup tinggi, itu yang perlu diwaspadai," paparnya.
Untuk itu, Bhima mengimbau pemerintah untuk segera mengambil langkah cepat terkait hal tersebut seperti memberi stimulus pada sisi supply hingga insentif kepada pengusaha.
"Karena akar masalahnya pada stabilitas kurs, ini tanggung jawab BI sebenarnya. Namun, pemerintah bisa juga memberi stimulus pada sisi supply seperti memberi diskon tarif listrik hingga 40-60% di jam-jam sibuk, karena mereka ini 20% biaya operasionalnya dari listrik dan air, kalau ada bantuan perusahaan mungkin tidak akan menaikkan harga terlalu tinggi, lalu insentif juga perlu seperti penangguhan pembayaran cicilan pokok atau bunga perbankan," pungkasnya.
(dna/dna)