Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menolak keras rencana pengalihan 250.000 ton gula rafinasi menjadi gula konsumsi. Sekretaris Jenderal (Sekjen) APTRI M. Nur Khabsyin mengatakan, pengalihan tersebut dapat merugikan petani rakyat.
Menurutnya, pemerintah sudah cukup banyak menerbitkan kebijakan impor gula, mulai dari impor 988.000 ton gula kristal mentah (raw sugar), dan juga 100.000 ton gula kristal putih (GKP). Ia menilai, volume tersebut sudah cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri sebanyak 230.000 ton/bulan.
"Pengalihan gula rafinasi ini kan sesuatu yang tidak perlu karena rafinasi kan peruntukkannya untuk industri makanan dan minuman. Ini kenapa bisa dialihkan? Kalau impor-impor ini masuk kan seharusnya tidak perlu ada pengalihan," kata Nur kepada detikcom, Senin (13/4/2020).
Ia menuturkan, selama ini gula rafinasi sudah banyak yang bocor ke pasar. Jika pengalihan fungsi ini dilaksanakan, ia khawatir lebih dari 250.000 ton gula rafinasi beredar di pasaran.
"Karena praktiknya gula rafinasi itu sering bocor ke pasar. Tidak dilegalkan saja bocor, apalagi dilegalkan. Tidak bisa terpantau jumlah yang masuk ke pasar, apakah benar 250.000 ton atau lebih. Karena itu nanti dikarungi, capnya gula konsumsi bukan gula rafinasi, jadi bocornya kita nggak tahu nanti," tegas Nur.
Menurutnya, langkah ini dapat merugikan petani tebu yang akan mulai proses penggilingan di bulan Mei mendatang. Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah dan para importir segera merealisasikan impor gulanya sekarang. Ia khawatir, ketika musim giling datang, produksi gula petani justru tak laku karena banjir impor.
"Kami mohon yang izin-izin impor, itu secepatnya gulanya dikeluarkan. Supaya ketika musim giling stok impor ini sudah selesai. Kalau masuknya mendekati Mei, ini kan ada 2 problem sekarang kan. Pertama masyarakat menjerit harga mahal dan stok langka, kedua nanti malah petani yang menjerit karena pada saat menggiling itu kebanjiran impor," tuturnya.
(hns/hns)