Untuk komoditas gula pasir yang masih langka, Satgas Pangan beserta pemerintah juga menemukan produsen di Lampung yang memiliki stok banyak namun tak terdata. Akhirnya produsen tersebut diperintahkan menggelontorkan 33.000 ton gulanya ke pulau Jawa.
Tak hanya barang-barang pokok di atas, produk konsumtif seperti es krim Viennetta pun juga ditimbun oleh para oknum. Sebuah postingan di Instagram @awirachma yang viral menunjukkan beberapa oknum yang bekerja di minimarket sengaja menyembunyikan es krim tersebut sehingga tak ditemukan pengunjung tokot itu.
Melihat fenomena ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai aksi penimbunan di Indonesia memang tak hanya dilakukan oleh oknum kelas kakap, tapi juga sudah merambah ke spekulan kelas bawah. Ia mengatakan, aksi ini memang lumrah ditemukan di negara berkembang akibat faktor pendidikan dan lingkungan.
"Secara agregat kasus-kasus penyalahgunaan wewenang, penimbunan, memang di negara berkembang itu kan masih lumrah terjadi. Sehingga ini nggak hanya dijumpai di kelas-kelas atas, tapi di kelas bawah juga," kata Yusuf kepada detikcom, Rabu (22/4/2020).
Namun, aksi penimbunan yang merambah ke segala lapis masyarakat ini juga disebabkan oleh pengawasan dari aparat yang berwenang. Dalam kasus es krim Viennetta sendiri, Yusuf tak yakin ada aparat yang mau turun tangan.
"Kita kembali ke kasus Viennetta lagi, apakah aparat yang bertanggung jawab akan melakukan penyelidikan? Apakah ada tindak lanjut? Atau sudah, ketika kasus ter-blow up sudah selesai semuanya gitu. Ini yang sebenarnya jadi bahan pelajaran," papar Yusuf.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, aksi penimbunan ini sudah merugikan masyarakat dalam jumlah yang besar. Ia membeberkan, di kasus gula saja masyarakat sudah merugi hingga Rp 250 miliar.
"Kalau kita hitung dalam 2 minggu saja, misalnya gula, kerugian konsumen hampir Rp 250 miliar. Bayangkan kalau ditahan lebih lama, berapa banyak konsumen dirugikan?" urai Tauhid kepada detikcom.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar masyarakat bisa lebih kritis ketika membeli produk yang harganya tak sesuai, baik itu produk bahan pokok, maupun produk konsumtif seperti es krim Viennetta.
"Menurut saya yang penting adalah untuk barang-barang yang memang bukan kebutuhan pokok, tapi terpengaruh naik seperti tadi tadi es krim dan sebagainya, menurut saya ya melalui sanksi sosial saja. Katakanlah ini terlalu tinggi, itu bisa. Karena dia marketingnya melalui e-commerce itu bisa di banned, kemudian masyarakat juga bisa mem-banned, karena di situasi ini melakukan moral hazard. Ini menurut saya bisa efektif, karena itu belum bisa dijangkau secara keseluruhan dari pemerintah," tandasnya.
(dna/dna)