Menurut Iwantono di dalam omnibus law seharusnya juga membahas perpajakan UKM. Sekarang itu, usaha kecil menurut pajak adalah omset di bawah Rp 4,8 M yang dapat pajak final 0,5%, dan ini hanya berlaku 3 tahun untuk UKM yang berbadan hukum. Setelah lewat 3 tahun mereka tidak lagi diperlakukan sebagai UKM yang dikenakan pajak final.
Ada dua kelemahan yang pertama angka Rp 4,8 M itu sudah terlalu kecil, sejak tahun 2013 angkanya seperti itu tidak berubah. Yang kedua jangka waktu hanya 3 tahun, setelah itu tidak berlaku. Masalahnya, kata Iwantono, membuat pembukuan untuk pajak itu yang sulit dilakukan bagi usaha kecil, bayangkan kalau harus menggaji tenaga yang bisa membuat administrasi sebagaimana dikehendaki oleh laporan pajak, dia harus gaji 1 orang Rp 4,5 juta per bulan, setahun sudah Rp 54 juta.
"Untungnya saja tidak ada segitu, hal ini yang memberatkan. Apalagi saya dengar untuk pajak UMK ini akan dibikin klaster-klaster misalnya tukan cukur akan dikenakan pajak final 5 persen, matilah mereka. Pada akhirnya nanti mereka tidak lagi menjadi wajib pajak yang patuh dan negara kehilangan sumber pendapatan. Karena itu besaran omset dan jangka waktu seharusnya diperbaiki," jelas Iwantono
Dia menambahkan, Untuk pembiayaan bagi usaha kecil juga normatif, kenapa tidak ada ketentuan konkret misalanya bank diwajibakan untuk mengalokasikan kredit dalam jumlah persen tertentu untuk memberdayakan UKM.
"Dengan demikian ada jaminan, bukan sekedar himbauan. Sebenarnya masih sangat banyak isu detail yang harus dibahas, dan sekali lagi Omnibus Law sebaiknya focus untuk pemberdayaan UKM," pungkas Iwantono.
(hns/hns)