Jangan Manfaatkan Pandemi untuk Cari Untung Besar-besaran

Jangan Manfaatkan Pandemi untuk Cari Untung Besar-besaran

Vadhia Lidyana - detikFinance
Senin, 11 Mei 2020 13:39 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta - Anggota Tim Pengawas (Timwas) Penanggulangan Bencana COVID-19 DPR RI, Mufti Anam, mengkritik para pelaku usaha yang masih saja mengambil untung besar dengan memanfaatkan kebutuhan masyarakat di masa pandemi COVID-19. Hal itu terutama dilakukan dunia usaha yang terkait dengan kebutuhan kesehatan masyarakat.

"Salah satu yang menonjol misalnya soal rapid test (uji cepat), terlepas dari kontroversi akurasinya. Beli di luar negeri harga sekitar Rp 30.000-Rp 60.000 per satuan, tapi di Indonesia dijual mahal. Ada yang Rp 200.000, Rp 300.000, Rp 500.000, bahkan ada yang menawarkan Rp 800.000 sampai Rp 1 juta," ujar Mufti, Senin (11/5/2020).

"Ambil untung tidak apa-apa, wong namanya dunia usaha. Tapi untung yang gila-gilaan saat pandemi yang menyusahkan banyak orang itu tidak beretika," imbuh Mufti.

Mufti mengatakan, banyak Dinas Kesehatan dan rumah sakit daerah yang dibiayai APBD membeli rapid test dalam jumlah yang besar dengan harga yang cukup mahal karena dunia usaha mematok marjin dalam skala yang tak masuk akal.

"Sungguh disayangkan. Padahal kalau harga bisa ditekan lebih murah, dana APBD itu bisa dialihkan untuk beli alat kesehatan yang lain, nambah ventilator misalnya. Atau bisa juga dialihkan untuk menambah jaring pengaman sosial membantu sembako ke warga terdampak yang kini kesulitan ekonomi," papar politisi PDI Perjuangan tersebut.

Mufti juga memperingatkan BUMN farmasi, seperti Kimia Farma yang telah mengimpor rapid test dalam jumlah besar dan memasarkannya ke berbagai rumah sakit daerah serta dinas kesehatan.

"Jangan sampai BUMN malah ikut dalam permainan taking profit gila-gilaan yang menyusahkan rakyat," tegas Mufti yang juga anggota Komisi VI DPR yang membidangi BUMN.

Saat ini, jutaan rapid test telah masuk ke Indonesia, baik diimpor oleh swasta maupun BUMN. Rapid test itu lalu dipasarkan ke berbagai rumah sakit, dinas kesehatan, hingga klinik. Kecuali dinyatakan bagian dari pelayanan pemerintah seperti untuk kebutuhan tracing (penelusuran) klaster penularan, banyak warga yang berinisiatif melakukan pemeriksaan uji cepat yang ditawarkan pelaku usaha kesehatan swasta.

"Masyarakat yang takut, cemas, teRp aksa mengakses rapid test mandiri dengan harga yang relatif mahal," ujarnya.

Selain mencekik dari sisi harga, akurasi rapid test juga perlu menjadi perhatian bersama. "Banyak kasus di mana rapid test mempunyai tingkat akurasi yang sangat lemah. Seperti kasus salah satu desa di Bali yang bikin heboh itu," ujarnya.


(dna/dna)

Hide Ads