Ekonomi Dunia Minus di 2020, Bagaimana Nasib Indonesia?

Ekonomi Dunia Minus di 2020, Bagaimana Nasib Indonesia?

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 10 Jun 2020 05:25 WIB
Pandemi virus Corona membuat dunia usaha babak belur. COVID-19 juga diproyeksi mendatangkan malapetaka pada ekonomi Indonesia, bahkan dunia.
Foto: Antara Foto
Jakarta -

Bank Dunia (World Bank/WB) memprediksi pertumbuhan ekonomi global -5,2% selama tahun 2020. Hal ini dikarenakan dampak dari pandemi virus Corona alias COVID-19 yang menyebar secara masif.

Bank Dunia menilai penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut akan menjadi resesi yang paling dalam sejak perang dunia kedua. Bahkan resesi akibat COVID-19 merupakan pertama sejak 1870 yang dipicu oleh pandemi.

"Resesi COVID-19 cenderung menjadi yang terdalam di negara maju sejak perang dunia kedua dan kontraksi output pertama di negara berkembang dalam enam dekade terakhir," kata Direktur Prospek Grup Bank Dunia, Ayhan Kose yang dikutip, Selasa (9/6/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktivitas ekonomi di negara-negara maju diperkirakan menyusut 7% selama 2020 lantaran permintaan dan penawaran, perdagangan, dan keuangan sangat terganggu. Misalnya ekonomi Amerika Serikat (AS) akan berkontraksi 6,1% di tahun ini. Sementara kawasan Eropa diperkirakan menyusut 9,1%, sedangkan negara maju lainnya seperti Jepang diperkirakan menyusut 6,1%.

Sementara pasar dan ekonomi negara berkembang (EMDE's) diperkirakan berkontraksi 2,5% di tahun 2020. Ini merupakan kontraksi pertama sejak 60 tahun dan terjadi penurunan pendapatan per kapita sekitar 3,6%, sehingga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan.

ADVERTISEMENT

"Ini adalah pandangan yang sangat mendalam, dengan krisis yang cenderung meninggalkan bekas luka dalam jangka panjang, dan menimbulkan tantangan global yang besar," ujarnya Wakil Presiden Grup Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan, dan Lembaga yang Berkeadilan, Ceyla Pazarbasioglu.

Bagaimana nasib ekonomi Indonesia?

Perekonomian Indonesia sudah mulai gerak lagi usai pemerintah menerapkan tatanan normal baru alias new normal. Melalui keputusan tersebut pemerintah membuka kembali beberapa kegiatan ekonomi, salah satunya perkantoran.

Tim Asistensi Menko Perekonomian, Raden Pardede menilai butuh waktu lama untuk mengembalikan ekonomi nasional di level 5%. Menurut dia, setidaknya hal tersebut baru bisa terjadi pada 2023.

"Dalam mendesain kebijakan ini, kita harus punya target, di 2022 atau 2023 minimal kita harus kembali ke pertumbuhan 5%," kata Raden melalui video conference, Jakarta, Selasa (9/6/2020).

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, kata Raden telah menyiapkan exit strategi dalam rangka pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi COVID-19 era new normal. Setidaknya ada dua poin penting yang harus dilakukan. Pertama, penyiapan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan new normal atau tatanan normal baru.

Salah satu kebijakan adalah mengenai pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pemerintah sendiri sudah menyiapkan anggaran sekitar Rp 677,2 triliun untuk melaksanakan program yang mencakup sektor kesehatan, jaring pengaman sosial alias bansos, dan jaring pengaman sektor riil seperti pemberian kredit modal kerja, restrukturisasi kredit, hingga pemberian bantuan kepada dunia usaha.

Kedua, kata Raden adalah mengenai syarat perlu yang harus disiapkan pemerintah dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat tanah air. Menurutnya, pelaksanaan new normal dibagi ke beberapa tahap, salah satunya saat membuka beberapa kegiatan ekonomi maka pemerintah harus memastikan kasus penyebaran atau penularan COVID-19 sudah rendah atau tidak ada lagi.

Tidak hanya itu, dalam membuka beberapa kegiatan ekonomi juga harus melaksanakan protokol kesehatan, seperti menyediakan fasilitas cuci tangan, pengecekan suhu, dan lainnya yang dilakukan selama pandemi Corona.

Melalui strategi tersebut, Raden menyebut laju pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II dan III tahun ini masih melambat di bawah 5%. Dengan strategi ini ditambah kebijakan fiskal dan moneter diharapkan dapat mengembalikan angka pertumbuhan ekonomi di level 5%.

"Jadi seluruh kebijakan apakah makro, fiskal-moneter dan struktural itu harus diarahkan untuk capai target di 2023 paling lambat. Kenapa paling lambat? Mungkin presiden ingin tinggalkan legacy, ketika turun 2024, kondisi tidak terlalu buruk atau setidaknya sama di posisi 2019," ungkapnya.



Simak Video "Video: Jumlah Angka Kemiskinan RI Meledak Versi Bank Dunia"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads