Alasan di Balik AS-India 'Serang' Ekspor RI

Alasan di Balik AS-India 'Serang' Ekspor RI

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 18 Jun 2020 08:30 WIB
Suasana aktivitas bongkar muat di Jakarta International Container Terminal, Jakarta Utara, Rabu (5/9/2018). Aktivitas bongkar muat di pelabuhan tetap jalan di tengah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpuruk. Begini suasananya.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Di tengah pandemi virus Corona (COVID-19), Indonesia menerima 10 tuduhan anti dumping dan 6 peringatan pengenaan safeguard atas ekspor sejumlah produk. Tuduhan terbanyak diperoleh dari Amerika Serikat (AS) dan juga India.

Produk-produk ekspor yang 'diserang' itu antara lain monosodium glutamat (MSG/mecin), baja, alumunium, produk kayu, benang tekstil, bahan kimia, matras kasur, dan produk otomotif.

Jumlah tuduhan yang diterima dalam kurun waktu yang cukup singkat yakni 5 bulan (Januari-Mei) ini bahkan berpotensi memecah rekor dibandingkan jumlah tuduhan yang biasa diterima Indonesia di tahun-tahun sebelumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, tuduhan yang diterima dalam kurun waktu 5 bulan (Januari-Mei) 2020 salah satunya disebabkan oleh stimulus ekspor yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha.

"Secara garis besar memang measures-measures perdagangan dari sisi ekspor dan impor yang kita berlakukan sejak wabah COVID-19 adalah measures-measures perdagangan yang sifatnya sangat distortif terhadap persaingan dagang yang sehat, mengganggu kelancaran dan kebebasan untuk berdagang," ujar Shinta kepada detikcom, Rabu (17/6/2020).

ADVERTISEMENT

Namun, menurut Shinta di tengah pandemi ini stimulus ekspor juga diberikan oleh pemerintah negara lain pada dunia usahanya masing-masing. Stimulus tersebut pun telah diinformasikan kepada World Trade Organization (WTO) dan telah ditetapkan sebagai pengecualian dan hanya berlaku sementara.

"Namun, measures perdagangan yang kurang lebih sama juga diberlakukan oleh banyak negara karena COVID-19 untuk jangka waktu tertentu. Ini datanya bahkan dirilis oleh WTO secara resmi karena diinformasikan kepada WTO oleh masing-masing negara sebagai pengecualian yang sifatnya sementara," urai Shinta.

Dengan pertimbangan itu, menurut Shinta stimulus ekspor yang berlaku di Indonesia untuk sementara waktu ini bukanlah bentuk kecurangan dalam perdagangan.

"Measures-measures perdagangan yang kita berlakukan yang sifatnya distortif terhadap perdagangan dan sudah dilaporkan ke WTO diperhitungkan sebagai exceptions atau pengecualian atas aturan perdagangan yg berlaku umum/normal di WTO dan bukan sebagai kecurangan perdagangan," tegasnya.

Ketua Komite Anti Dumping Indonesia Bachrul Chairi mengatakan, stimulus ekspor yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha selama pandemi Corona ini diberikan kepada seluruh industri.

"Kan apa yang diberikan keseluruhan industri di Indonesia, semuanya, pajaknya ditangguhkan, seluruhnya. Bukan cuma industri garmen, dan lain-lain, seluruhnya," jelas Bachrul kepada detikcom.

Oleh sebab itu, menurut Bachrul stimulus ini tak bisa dijadikan latar belakang bagi negara penuduh untuk mengirimkan tuduhan anti dumping maupun tuduhan lainnya seperti pemberian subsidi.

"Maka hal itu tidak dianggap sebagai bagian yang bisa dituduhkan untuk anti subsidi. Kalau pun anti dumping ya harus dibuktikan dulu hitungannya," tegasnya.

Bachrul menilai, tuduhan-tuduhan tersebut di tengah pandemi Corona ini sebagai bentuk hambatan yang sengaja diberikan negara penuduh terhadap produk ekspor Indonesia.

"Di situasi pandemi ini maka alat trade remedies ini dijadikan sebagai hambatan-hambatan baru. Jadi mereka (negara penuduh) kreatif menggunakan alat ini untuk menghambat. Nah ini yang harus kita tengarai," urainya.

Ia mencontohkan, Turki dan Uni Eropa (UE) kerap kali memberikan tuduhan yang tergolong dalam trade remedies itu dengan ketentuan yang sebetulnya dilarang oleh World Trade Organization (WTO).

"Sudah dirasakan sekali dengan Turki, dengan EU (European Union), itu kita merasakan mereka melakukan tindakan-tindakan yang boleh kita bilang dirasakan sangat protektif menggunakan trade remedies yang seharusnya nggak boleh. Bahkan mereka mengganti ketentuan-ketentuannya yang mempersulit kita untuk ke luar dari jeratan. Ini tendensinya dalam pandemi ini," papar Bachrul.

Begitu juga dengan AS. Bachrul mengungkapkan, AS masih saja mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk baja Indonesia. Sementara, sudah 15 tahun Indonesia tak lagi mengekspor baja ke Negeri Paman Sam tersebut.

"Contohnya kita sudah dikenakan ke Amerika ini untuk baja, sudah 30 tahun. Kita sudah nggak ekspor lagi sebenarnya, tapi Amerika masih saja mengenakan terus. Akibatnya kita sudah 15 tahun nggak ekspor sama sekali ke Amerika," jelas dia.

Pengusaha Geram AS-India 'Serang' Ekspor RI

Shinta mengatakan, tuduhan-tuduhan ekspor tersebut dalam jangka panjang bisa membuat kegiatan ekspor terganggu, bahkan terhenti.

"Dalam jangka panjang, kondisi ini akan backfire dan sangat-sangat menekan ekspor nasional hingga kita tidak lagi bisa berdagang atau penetrasi pasar global meskipun produk kita kompetitif," ujar Shinta.

Bahkan, menurut Shinta pengenaan safeguard dari negara penuduh berpotensi melebar ke produk-produk lain.

"Efek samping tuduhan-tuduhan tersebut bisa saja melebar ke komoditas ekspor yang lain karena kebijakan safeguard cenderung menciptakan retaliasi proteksi dagang dari negara lain terhadap Indonesia," kata Shinta.

Secara khusus, ia khawatir tuduhan anti dumping, pengenaan safeguard, atau tuduhan lainnya seperti anti subsidi bisa menghambat ekspor produk unggulan Indonesia seperti minyak kelapa sawit, kertas, karet, dan sebagainya.

"Bila dibiarkan, tuduhan dumping, subsidi bahkan tuduhan diskriminasi perdagangan akan banyak menghantam Indonesia atas komoditas-komoditas unggulan ekspor nasional seperti CPO, kertas, garmen, sepatu, otomotif, karet, dan lain-lain dari berbagai negara yang mengalami defisit perdagangan cukup signifikan dengan Indonesia seperti AS, UE, India atau negara yang memiliki kepentingan tertentu terhadap perdagangan seperti Australia atau New Zealand," jelas dia.

(zlf/zlf)

Hide Ads