Saran DPR Defisit 2021 Diperlebar, Lampu Hijau Genjot Utang?

Saran DPR Defisit 2021 Diperlebar, Lampu Hijau Genjot Utang?

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 30 Jun 2020 16:33 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Badan Anggaran (Banggar) DPR menyetujui kebijakan defisit, pembiayaan, dan makro di tahun 2021. Pemerintah mengusulkan defisit fiskal di kisaran 3,21-4,17% dengan rasio utang di level 37,6-38,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Pimpinan rapat Banggar DPR, Said Abdullah mengatakan pihak parlemen menyetujui usulan pemerintah. Sebab, kebutuhan anggaran pemulihan ekonomi sangat besar.

Bahkan, pemerintah diminta lebih berani melebarkan defisit fiskal pada 2021 demi memenuhi kebutuhan anggaran penanggulangan pandemi Covid-19.

"Kalau ingin cepat pulih, pada kondisi normal 2023, kenapa nggak 4,7% defisitnya. Supaya ketika menyatakan ekspansif, maka ekspansif betul yang diinginkan pemerintah," kata Said di ruang rapat Banggar DPR, Jakarta, Selasa (30/6/2020).


Menurut Said pelebaran defisit yang berujung pada meningkatnya jumlah utang pemerintah terhadap PDB harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Salah satu kegiatan produktif adalah membangun infrastruktur.

"Semua negara berutang, yang penting catatan kami utang untuk belanja yang produktif. Kalau kita ngutang untuk bansos maka kasihan cucu kita, kalau mau utang bangun tol, bangun pelabuhan, tidak apa-apa, itu untuk produktif kok. Kenapa harus takut," jelas Said.

Said meminta pemerintah untuk meningkatkan literasi keuangan khususnya pembiayaan utang kepada seluruh masyarakat Indonesia. Tujuannya, kata dia, agar surat utang negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah bisa dibeli masyarakat Indonesia.

Klik halaman selanjutnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Selain itu, Said pemerintah untuk menggambarkan lebih rinci kebijakan defisit, pembiayaan, dan makro pada nota keuangan yang akan dibacakan Presiden Joko Widodo pada Agustus mendatang.

"Saya ingin responnya dalam nota keuangan 16 Agustus pada 2020. Karena itu yang kita butuhkan dan itu yang akan kita bahas bersama. Oleh karena itu asumsi makro sudah disahkan bersama, defisit dan pembiayaan dan fiskal kita setujui dan di dalam nota tergambar keinginan Banggar," ujarnya.

Perlu diketahui, Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah mencapai Rp 5.258,57 triliun per Akhir Mei 2020, atau naik Rp 86,09 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai Rp 5.172,48 triliun.


Jika dibandingkan pada periode yang sama tahun 2019, maka utang pemerintah naik Rp 686,68 triliun dari Rp 4.571,89 triliun.

Dengan total utang pemerintah Rp 5.172,48 triliun, maka rasio utang pemerintah meningkat menjadi 32,09% dari bulan sebelumnya 31,78% terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski begitu, rasio utang pemerintah masih aman jika mengacu pada UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 dan UU APBN yang ditetapkan setiap tahunnya.



Simak Video "Video Momen DPR Cecar Sri Mulyani: Penghematan Ujung-ujungnya Tambah Utang"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads