Namun dengan naik kelas, Indonesia tidak lagi mendapatkan keuntungan sebelumnya saat masih menjadi negara berpenghasilan menengah bawah. Sebab bunga utang multilateral besarannya ditentukan kelas negara yang meminjam. Itu artinya jika pemerintah berutang ke lembaga internasional bunganya akan lebih tinggi.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan, masuknya Indonesia ke level menengah atas harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Tujuan utamanya harus keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah. Sebab banyak negara lain yang sudah menjadi korban jebakan ini dan pertumbuhannya menjadi stagnan.
"Peningkatan investasi yang berkelanjutan ke depannya akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi akan juga berkelanjutan sehingga mendorong pemerataan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Lalu Peneliti dari Indef, Bhima Yudhistira menilai ada 2 dampak kenaikan kelas ini untuk masyarakat. Pertama dari sisi perdagangan internasional konsekuensinya produk Indonesia semakin sedikit mendapatkan fasilitas untuk keringanan tarif atau bea masuk. Hal itu membuat harga produk pengusaha Indonesia termasuk UMKM jadi lebih mahal di pasar ekspor khususnya negara maju.
"Misalnya tinggal menunggu waktu AS akan mencabut fasilitas GSP (Generalized System of Preferences). Padahal banyak produk yang diuntungkan dari fasilitas GSP seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat, hingga produk kayu. Indonesia bisa saja dikeluarkan dari list negara penerima fasilitas tadi. Dan yang perlu dicermati, biasanya langkah negara maju akan diikuti oleh negara lainnya. Kalau AS sampai cabut GSP, maka Kanada, Eropa juga menyusul. Padahal situasi pandemi kita memerlukan kenaikan kinerja ekspor yang lebih tinggi," terangnya.
Kedua, lanjut Bhima, masyarakat akan terdampak dari pembiayaan utang pemerintah yang bunganya tak lagi murah. Akibat naiknya status menjadi upper middle income berarti Indonesia makin dianggap mampu membayar bunga yang lebih mahal. Negara-negara kreditur juga akan memprioritaskan negara yang income nya lebih rendah dari Indonesia khususnya negara kelompok low income countries.
"Dengan kondisi ini maka pilihan Indonesia untuk mencari sumber pembiayaan murah makin terbatas. Pinjaman bilateral dengan bunga 0,5-1% tentunya makin berat. Akibatnya pemerintah makin gencar terbitkan SBN yang dijual dengan market rate. Sekarang saja sudah diatas 7% bunga nya. Mahal sekali dan pastinya kedepan porsi SBN makin dominan dibandingkan pinjaman bilateral dan multilateral yang bunganya lebih murah. Buat pembayar pajak ya akan ada konsekuensi kedepan kalau negara butuh bayar bunga utang maka tarif pajak bisa dinaikkan," tutupnya.
Simak Video "Video: kala Jokowi Antar Cucu Liburan di Tengah Masa Penyembuhan"
[Gambas:Video 20detik]
(das/dna)