RI-Australia Sepakat Kerja Sama Dagang, DPR Ingatkan Risiko Ini

RI-Australia Sepakat Kerja Sama Dagang, DPR Ingatkan Risiko Ini

Tim detikcom - detikFinance
Rabu, 08 Jul 2020 12:10 WIB
Revisi Infografis Kerja Sama Dagang RI-Australia
Foto: Mindra Purnomo/Tim Infografis
Jakarta -

Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) telah berlaku sejak 5 Juli 2020.

Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi masalah perdagangan, Mufti Anam, mengingatkan kepada pemerintah untuk mewaspadai sejumlah faktor yang harus diantisipasi agar perjanjian tersebut tidak semakin mengempiskan gerak ekonomi lokal. Apalagi dalam suasana pemulihan ekonomi dalam negeri setelah dihajar pandemi COVID-19.

Mufti memberikan sejumlah catatan terkait IA-CEPA. Pertama, potensi peningkatan impor produk pertanian dari Australia. Hal ini berpotensi membuat ketergantungan Indonesia terhadap impor produk pertanian Australia, antara lain gandum, sapi dan daging sapi, serta hortikultura seperti kentang, wortel, dan jeruk yang notabene bisa dipacu pengembangannya di dalam negeri.

Dalam jangka menengah-panjang, ketergantungan itu bisa membuat kapasitas sektor pertanian lokal secara umum semakin menurun.

"Dalam jangka pendek, impor holtikultura pasti melonjak, karena ketentuan automatic import licensing, lisensi impornya pasti disetujui. Maka pemerintah perlu menyiapkan skema insentif untuk mengantisipasi berkurangnya surplus produsen, terutama untuk kentang, wortel, jeruk. Perlu kolaborasi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk merumuskan ini," ujar politisi PDI Perjuangan tersebut, Rabu (8/7/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menyebut skema insentif bisa berupa subsidi output terkait selisih harga pasar dengan harga jual tingkat petani domestik. "Sekaligus ini sebenarnya bisa menjadi momentum perbaikan tata kelola subsidi di sektor pertanian, termasuk dengan mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan pasar," papar Mufti.

Catatan kedua, Mufti Anam mendesak Kemendag untuk fokus pada upaya mengubah strategi perdagangan, dari posisi defensif misalnya lewat substitusi impor menjadi strategi memacu promosi ekspor.

"Pemerintah juga perlu segera memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang berpihak seperti kajian soal batas subsidi domestik di sektor pertanian, batas pengurangan tarif, dan sebagainya, sebagai bagian dari persiapan momentum reformasi WTO pada 2021," ujarnya.


Mufti juga meminta pemerintah untuk mengoptimalkan aspek-aspek yang menguntungkan Indonesia dalam kerangka IA-CEPA, seperti peningkatan peluang ekspor ke Negeri Kanguru tersebut, meski harus diakui akan sangat sulit membuat neraca perdagangan dengan Australia menjadi positif.

"Neraca dagang Indonesia dengan Australia selalu defisit. IA-CEPA juga akan tetap sulit membuat kita positif dengan Australia. Tapi setidaknya kita harus optimalkan beberapa kemudahan ekspor, seperti otomotif meski sangat terbatas," ujarnya.

"Kuncinya ada pada terobosan pemerintah yang mengintegrasikan dari hulu ke hilir. Misalnya soal komoditas pertanian, harus fokus mulai insentif kepada petani, efisiensi produksi, hingga strategi ekspor. Kalau hanya business as usual, ya kita akan terus dihajar produk impor dari Australia tanpa bisa memanfaatkan IA-CEPA ini untuk mengakselerasi ekspor," pungkas Mufti.


Hide Ads