Polusi udara disebut-sebut dapat membawa kerugian terhadap perekonomian suatu daerah. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Bondan Andriyanu memprediksi untuk Jakarta saja, bisa tekor hingga Rp 23 triliun akibat kurangnya upaya pengendalian terhadap polusi udara tersebut.
"Di Jakarta sendiri itu (kerugian terhadap ekonomi) angkanya sampai Rp 23 triliun kita bandingkan dengan APBD itu hampir 26% dari APBD, seperempat lebih," ungkap Bondan dalam media briefing bertajuk Kerugian Ekonomi dari Polusi Udara, Kamis (9/7/2020).
Perhitungan atas kerugian ekonomi tersebut dihitung Greenpeace bersama Lembaga Penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Caranya dengan membandingkan anggaran kesehatan kota Jakarta dan defisit BPJS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum menghitung total kerugian ekonominya, Greenpeace dan CREA lebih dulu melakukan penelitian terhadap potensi kematian dini akibat polusi udara yang dipantau dari dua stasiun pemantauan kualitas udara milik US Embassy di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Untuk Jakarta saja, potensi kematian dini akibat polusi udara bisa mencapai 6.100 jiwa.
Selain Jakarta, Greenpeace juga melakukan banding dengan 3 kota lainnya yakni Denpasar, Surabaya, dan Bandung. Ketiganya memiliki potensi kematian dini akibat polusi udara yang sama tingginya, yaitu 410 jiwa di Denpasar, 1.700 jiwa di Surabaya dan 1.400 jiwa di Bandung. Sehingga, masing-masing memiliki potensi kerugian ekonomi mencapai Rp 1,44 triliun, Rp 6,35 triliun dan Rp 5,34 triliun dibanding APBD TA 2020 masing-masing.
Baca juga: Pertamina Mau Hapus BBM Tak Ramah Lingkungan |
Untuk diketahui, jumlah APBD DKI Jakarta untuk TA 2020 ini adalah sebesar Rp 87,95 triliun, Denpasar Rp 2,164 triliun, Bandung Rp 46 triliun dan Surabaya Rp 10,3 triliun.
"Di Denpasar sendiri ini Rp 1,44 triliun, sudah hampir setengahnya lebih atau 66,5% APBD, kemudian di Bandung ini sekitar Rp 5,34 triliun atau sekitar 11,6% APBD Bandung itu sendiri dan Surabaya itu sekitar Rp 6,35 triliun atau lebih dari setengahnya atau 61,6% dari APBD yang dimiliki Surabaya," paparnya.
Demikian pula bila dibandingkan dengan defisit BPJS Kesehatan. Kerugiannya bisa lebih dalam lagi. Sebagaimana diketahui, di akhir 2019 lalu, defisit BPJS kesehatan tercatat mencapai Rp 13 triliun.
"Kalau kita bandingkan dengan angka di Jakarta sendiri, kerugiannya itu sudah hampir dua kali lipat dari defisit BPJS itu sendiri sekitar 175%. Dan di Denpesar sudah 11% dari defisit BPJS, Bandung 41% dari defisit BPJS dan Surabaya juga begitu, 49% dari defisit BPJS. Angkanya bukan main-main, sungguh sangat mencengangkan," tuturnya.
Apalagi kalau dibandingkan dengan anggaran kesehatan di masing-masing kota tersebut. Kerugian ekonomi akibat polusi udara di Jakarta bisa mencapai 793% dari anggaran kesehatannya yang sebesar Rp 2,99 triliun, Denpasar hingga 209% dari anggaran kesehatannya yang sebesar Rp 687 miliar, Bandung 556% dari anggaran kesehatannya yang sebesar Rp 96 miliar dan Surabaya 423% dari anggaran kesehatannya yang sebesar Rp 1,5 triliun.
"Jakarta itu sebenarnya angka Rp 23 triliun itu hampir 8 kali lipat dari anggaran kesehatan yang ada di Jakarta, kemudian di Denpasar sudah hampir lebih dari 2 kali lipat anggaran kesehatan, Surabaya juga 4 kali lipat dan Bandung sekitar 5 kali lipat," tambahnya.
(eds/eds)